~* Bismillahirrahmaanirrahiim *~
Tadzkiroh Untuk Kaum Muslimah.....
~~*MASA HAIDH BUKAN MASA LIBUR IBADAH*~~
Banyak kaum wanita yang menganggap masa haidh sebagai masa libur ibadah. Bahkan tak jarang mereka menyebut masa haidh sebagai masa libur. Sebab, selama masa itu mereka tidak boleh mengerjakan shalat dan shaum.
Benarkah anggapan mereka ini? Tentu saja tidak! Jika yang mereka maksud adalah meninggalkan semua atau sebagian besar ibadah. Akan tetapi begitulah kenyataan yang kita dapati. Ingatlah wahai saudariku, bagi seorang muslim tidak ada istilah libur ibadah.
Berapa banyak kaum wanita yang merasa bahwa datangnya masa haidh seperti lepasnya beban berat yang ia pikul selama masa suci. Ia merasa begitu lega, santai dan bisa melakukan apa saja tanpa harus terganggu dengan datangnya waktu shalat.
Saudariku muslimah,
Ketahuilah, itu adalah perangkap setan. Setan membuat indah anggapan mereka itu. Setan sangat berhasrat menjebak kalian dalam kelalaian. Lalai dari mengingat Allah dan lalai mengingat akhirat. Sebab, jika engkau lalai niscaya setan dapat dengan mudah menggiringmu kepada kemurkaan Allah
Karena itu, janganlah kalian tertipu.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-nya dan orang yang tidak berdzikir kepada Rabb-nya adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dan yang mati.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu'anhu]
Renungkanlah wahai saudariku muslimah, …
Pantaskah seorang muslimah merasa santai di saat terluput darinya sebuah ibadah yang sangat agung di dalam Islam? Ibadah yang tidak bisa disetarakan dengan ibadah apapun yaitu shalat dan shaum. Pantaskah ia bergembira di saat ia tidak bisa berdiri bermunajat kepada Rabb yang Maha Agung, berbicara langsung dengan-Nya dalam shalat?
Seharusnya semangat mereka lebih terpacu. Yaitu semangat untuk menggantikan terluput keutamaan ibadah shalat dan shaum.
Banyak kita temui para wanita, terutama para gadis, menjadikan masa haidh ini sebagai masa untuk mengosongkan pikiran dan jeda ibadah dengan alasan rileks karena datang bulan. Sehingga banyak waktunya yang terbuang percuma tanpa faedah sedikitpun bagi akhiratnya. Akhirnya, begitu masa suci tiba ia merasa berat untuk memulai kembali aktivitas ibadahnya.
Adapun hal-hal yang dilarang dilakukan oleh wanita haid, dan wanita nifas:
Shalat dan Puasa – “Bukankah jika wanita itu haid, maka ia tidak shalat, dan tidak puasa?” [ Riwayat Bukhari]
Memasuki mesjid (terdapat ikhtilaf dikalangan ulama)“Aku tidak menghalalkan mesjid untuk wanita haid, dan orang-orang dalam keadaan junub”[ RiwayatAbu Daud]
Perceraian – wanita haid tidak boleh dicerai,namun harus menunggu hingga ia suci
Berhubungan suami istri “ oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci “(Al-Baqoroh: 222)
Membaca Al-Qur’an (terdapat perbezaan pendapat)
Thawaf, “Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.[Riwayat Muslim]
Manakala, diantara hal-hal yang diperbolehkan bagi wanita haid:
1. Berdzikir Berdzikir boleh dilakukan wanita haid. Hal ini lebih baik daripada sekadar membiarkan lisan dan hati kita lalai dari mengingat Allah. Atau membiarkan lisan dan hati kita untuk hal-hal maksiat seperti bergunjing dan membicarakan serta memikirkan hal yang sia-sia. Dzikir selain bisa mengingatkan kita pada Allah, menenteramkan hati juga mendatangkan pahala.
2. Ihram, wukuf di Arafah“Menjadi kewajiban bagi manusia terhadap Allah, mengerjakan haji di Baitullah, yakni bagi orang-orang yang mampu mengunjunginya.” (Ali Imran: 97)Namun terkadang wanita terhalang haid, sehingga ada beberapa hal yang tak boleh dikerjakan seperti melakukan thawaf dan dua rakaat shalat thawaf. Selain itu semua manasik haji boleh dikerjakan oleh wanita haid dan nifas. Jadi wanita yang dalam keadaan haid dan nifas boleh melakukan ihram. Seperti disebutkan dalam sebuah hadits Aisyah x yang meriwayatkan kasus Asma’ binti Umais. Asma’ melahirkan di Syajarah. Lalu Rasulullah n menyuruhnya mandi dan sesudah itu langsung ihram.
3. Melayani suami
Selama menjalani fitrahnya mengalami haid, bukan berarti wanita absen dari membahagiakan suami. Seorang istri tetap harus siap melayani suaminya, khususnya kebutuhan biologisnya. Meski diharamkan melakukan persetubuhan (senggama), suami dibolehkan bersenang-senang dengan istri pada bagian pusar ke atas atau selain kemaluan.Haram menolak ajakan suami, kecuali ada hal-hal yang mengakibatkan risiko jika berhubungan badan. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,“Jika suami mengajak istrinya ke ranjangnya (untuk berjima’) kalau istri tidak mau melayaninya sehingga ia marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga subuh.” (Riwayat Bukhari Muslim)Bukankah taat pada suami selama tidak bermaksiat pada Allah serta mengakui hak suami atasnya memiliki pahala yang besar laksana pahala jihad? Tak hanya itu, wanita shalihah selalu menyenangkan bagi suaminya. Seperti sabda Nabi
Tidakkah mau aku khabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita yang baik (shalihah), jika dilihat suami ia menyenangkan, jika diperintah suami ia mentaatinya, dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Makan dan minum bersama wanita haid” Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makan bersama wanita haid, kemudian beliau bersabda:”makanlah bersamanya””.[Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, hadits Hasan]
4. Menghadiri majlis ilmuSelain hal-hal yang disebutkan di atas, kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah menghadiri majlis ilmu/ta’lim selama majlis tersebut tidak berlangsung di masjid. Hal ini disebabkan larangan bagi wanita haid untuk masuk ke masjid.
Selama majlis tersebut bebas dari tabarruj dan ikhtilat serta bermanfaat, alangkah baiknya mengisi waktu dengan hal-hal bermanfaat. Kegiatan ini juga menghindarkan kita dari angan-angan kosong atau sekadar melamun tanpa guna atau membiarkan waktu terlewat tanpa guna. Berkumpul bersama orang-orang shalih, membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan murajaah bacaan al-Quran juga mengandung nilai-nilai ibadah. Tak hanya itu, melakukan tugas harian sebagai istri dan ibu yang baik selama dilakukan dengan tulus juga bermakna ibadah. Insyaallah boleh menjadi pengisi pundi-pundi amal kita, meskipun kita tengah terhalang fitrah haid.
Memang, mungkin kita tak mampu meniru amal ibadah para muslimah pada masa terbaik (zaman Nabi), namun setidaknya jejak semangat mereka dalam beramal masih tetap tertinggal di dada para muslimah, meskipun tengah berhalangan saat haid, semampu kita. Insyaallah.
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Jawapan:-
Dibolehkan bagi wanita yang didatangi haid berdoa, berzikir berpandukan zikir-zikir yang disyariatkan dan juga membaca al-Quran. Tetapi keharusan ini dengan syarat ia mesti dibaca tanpa memegang mushaf al-Quran.
Namun, orang yang berjunub (bersetubuh sebelum mandi) dilarang membaca al-Quran, sama ada melalui hafalan ataupun memegang dan membacanya.
Pengharaman ini berdasarkan dalil berikut:
1. Ia termasuk hukum junub kerana bersetubuh disebabkan kedua-duanya disyariatkan mandi wajib. Ini berdasarkan hadis Ali bin Abu Tolib r.a di mana Rasululah s.a.w mengajar para sahabat al-Quran:
“Tiada apa yang menghalang daripada al-Quran selain junub.”
- (Riwayat al-Tirmizi, 146, Abu Daud, jil 1, ms. 281, al-Nasai, jil. 1, ms. 144, Ibn Majah, jil. 1, ms. 207, Ahmad, jil. 1, ms. 84, Ibn Khuzaimah, jil. 1, ms. 104. Menurut al-Tirmizi: Hadis ini hasan sahih. Menurut Ibn Hajar: Hadis ini hasan dan diterima sebagai hujah).
2. Hadis Ibn Umar r.a di mana Rasululah s.a.w melarang wanita haid dan orang yang berjunub membaca al-Quran.
- (Hadis riwayat al-Tirmizi, no. 131, Ibn Majah, no. 595, al-Daruqutni, jil. 1, ms. 117, al-Baihaqi, jil. 1, ms. 89. Hadis ini daif kerana riwayat Ismail bin ‘Ayyasy daripada penduduk Hijaz. Riwayat Ismail daripada mereka adalah daif. Menurut Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Fatawa, jil. 21, ms. 460: Hadis ini daif menurut kesepakatan ulama yang mengetahui tentang hadis. Rujuk: Nasb al-Rayah, jil. 1, ms. 195 dan al-Talkhis al-Habir, jil. 1, ms. 183).).
Menurut sebahagian ulama, harus membaca al-Quran ketika haid. Pendapat ini dipegang oleh Mazhab Malik, riwayat daripada Imam Ahmad, dipilih oleh Ibn Taimiyah dan disokong pula oleh al-Syaukani. Mereka mengunakan dalil berikut:
1. Hukum asal dalam sesuatu perkara adalah harus dan halal sehinggalah terdapat dalil yang melarang. Tidak terdapat dalil yang melarang wanita haid membaca al-Quran. Menurut Ibn Taimiah, tidak ada nas yang jelas lagi sahih yang melarang wanita haid membaca al-Quran. Beliau menyambung: Dan sudah sedia maklum bahawa wanita pada zaman nabi juga didatangi haid. Baginda tidak melarang mereka membaca al-Quran seperti mana baginda tidak melarang mereka berzikir dan berdoa.
2. ALLAH S.W.T memerintahkan agar membaca al-Quran. DIA menjanjikan pahala yang amat besar. Tidak boleh menghalang manusia membacanya kecuali ada dalil yang tsabit.
3. Menyamakan haid dengan junub adalah tidak munasabah kerana kedua-duanya berbeza. Ini kerana junub atau persetubuhan dilakukan atas dasar pilihan sendiri dan boleh menghilangkan hadas itu dengan melakukan mandi wajib. Ini berbeza dengan haid di mana masa datangnya panjang dan berlangsung selama berhari-hari. Junub pula disyariatkan mandi setiap kali ingin mendirikan solat.
4. Melarang wanita haid membaca al-Quran telah mengurangkan pahalanya dan berkemungkinan ada antara ayat-ayatnya dilupai. Adakalanya ia perlu dibaca al-Quran ketika mengajar dan belajar.
Dengan ini, jelaslah bahawa dalil dan pendapat yang dipegang oleh golongan yang mengharuskan membaca al-Quran bagi wanita haid lebih kuat. Untuk lebih selamat, elakkan membaca al-Quran kecuali ketika bimbang ia dilupai.
Hendaklah diambil perhatian, ini hanya melibatkan bacaan al-Quran pada ayat-ayat yang dihafal dalam dada. Tetapi, berhubung dengan menyentuh mushaf al-Quran ketika dalam haid, ia melibatkan hukum lain. Tetapi, pendapat yang paling tepat antara dua pendapat yang bertentangan adalah diharamkan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas berdasarkan keumuman ayat:
“Tidak akan menyentuhnya melainkan orang-orang yang suci.”
– Surah al-Waqiah: 79.
Juga berdasarkan surat Umar Ibn Hazm yang diutuskan oleh Nabi s.a.w kepada Ahli al-Yaman:
“Maka janganlah menyentuh al-Quran melainkan orang yang suci.”
– Riwayat Imam Malik, jil. 1, ms. 199, al-Nasaai, jil. 8, ms. 57, Ibn Hibban, 793, al-Baihaqi, jil. 1, ms. 187. Menurut al-Hafiz Ibn Hajar: Hadis ini disahihkan oleh sekumpulan Imam. Menurut al-Syafie: Telah tsabit di sisi mereka bahawa ia adalah surat Rasulullah s.a.w. Menurut Ibn Abdul Bar: Surat ini sangat masyhur di kalangan ahli sejarah diketahui oleh para ulama. Pengetahuan ini sangat masyhur. Ia menyerupai mutawatir kerana orang ramai menerima dan mengetahuinya. Menurut al-Albani, hadis ini sahih. Al-Talkhis al-Habir, jil. 4, ms. 17. lihat: Nasb al-Rayah, jil. 1, ms. 196, Irwa al-Ghalil, jil. 1, ms. 158 dan lain-lain lagi.
Jadi, jika wanita haid ingin memegang mushaf al-Quran, lapik dengan kertas yang bersih atau memakai sarung tangan. Atau membalikkan halaman mushaf menggunakan rotan, pen atau sebagainya.
Kesimpulannya, dibolehkan membaca al-Quran selagi mana ia tidak disentuh. Tetapi haram menyentuhnya menurut pendapat yang paling sahih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar