بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
Salah satu bentuk ibadah yang terlalaikan, namun dianggap sebagai hal biasa di kalangan kaum muslimin sekarang ini adalah menulis pujian kepada Allah; shalawat serta salam kepada Nabi; dan salam kepada sesama kaum muslimin dengan cara disingkat… Padahal telah diketahui bahwa dalam kaidah penggunaan bahasa Arab, kesempurnaan tulisan dan pembacaan lafadz akan sangat mempengaruhi arti dan makna dari sebuah kata dan kalimat.
Lalu, bagaimana jika pujian kepada Allah, shalawat kepada nabi, ataupun salam kepada kaum mukminin disingkat dalam penulisannya? Apakah akan merubah arti dan makna kalimat tersebut?!
Adab Menulis Pujian kepada Allaah
Kita banyak mendapati kaum muslimin yang menuliskan setelah menyebut nama Allah dengan penulisan “s.w.t.” (yang dimaksudkan untuk subhaanahu wa ta’ala)… Lantas bagaimana tanggapan ulamaa’ akan hal ini?!
Imam an Nawawiy rahimahullah berkata:
“Dianjurkan bagi penulis hadits apabila melalui penyebutan (nama) Allah ‘azza wa jalla agar menuliskan kata-kata ‘azza wa jalla (yang maha perkasa lagi mulia) atau ta’ala (yang maha tinggi), atau subhanahu wa ta’ala (yang maha suci lagi tinggi), atau tabaraka wa ta’ala (penuh berkah dan maha tinggi), atau jalla dzikruhu (yang mulia sebutannya), atau tabarakasmuhu (pemilik nama yang penuh berkah), atau jallat ‘azhamatuhu (maha mulia kebesarannya), atau yang serupa dengannya…
Hendaknya semua ucapan tersebut ditulis, meskipun dalam naskah aslinya tidak tertulis, karena hal ini bukan termasuk periwayatan, namun sekedar doa. Orang yang membaca (hadits) juga hendaknya membaca setiap ucapan yang telah kami sebutkan tadi, meskipun di dalam teks yang dibacanya doa-doa tersebut tidak disebutkan
Janganlah dia merasa bosan mengulang-ulanginya. Barangsiapa yang lalai melakukannya niscaya akan terhalang meraih kebaikan yang amat besar dan kehilangan keutamaan yang sangat agung.”
(Muqadimah Syarh Muslim, 1/204)
Dikisahkan oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menyingkatkan (shalawat nabi menjadi) shad-lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!]
(Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249)
Maka bagaimana lagi jika dizaman tersebut didapati orang yang menyingkat nama Allah? atau menyingkat pujian terhadapNya?!
Adab Menulis Shalawat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“
Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
(Lihat penjelasan Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam”
(Lihat penjelasan al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
البخيل من ذكرت عنده فلم يصل علي
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.
[-tambahan abu zuhriy- atau jika berkeinginan, tidak menuliskannya sama sekali dan mengucapkannya secara lisan, sebagaimana yang dilakukan imam Ahmad ketika beliau menulis Musnad-nya, yang beliau bershalawat dengan lisan beliau. -penjelasan ini didapat dari kajian al-ustadz abdulhakim bin amir abdat-]
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan.
Ketahuilah, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?
Apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dalam beribadah?
Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.
[dikutip dari: http://muslimah.or.id/fikih/adab-salam-dan-shalawat.html, dengan beberapa perubahan tanpa merubah makna, dan dengan penambahan lafazh aråb dalam ayat dan hadits]
Perkataan para ‘ulama mengenai penyingkatan shålawat
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan
,
“Dianjurkan bagi penulis hadits… hendaknya menuliskan kata-kata shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna ketika menyebutkan nama Nabi (Muhammad), tidak dengan menyingkatnya, dan tidak pula mencukupkan diri pada salah satunya (salam atau shalawat saja).
Demikian pula dikatakan radhiyallahu’anhu ketika menyebut nama Sahabat. Apabila Sahabat itu anak dari Sahabat yang lain, maka dikatakan radhiyallahu’anhuma. Hendaknya juga mendoakan keridhaan dan rahmat bagi segenap ulama dan orang-orang baik/salih.
Hendaknya semua ucapan tersebut ditulis, meskipun dalam naskah aslinya tidak tertulis, karena hal ini bukan termasuk periwayatan, namun sekedar doa. Orang yang membaca (hadits) juga hendaknya membaca setiap ucapan yang telah kami sebutkan tadi, meskipun di dalam teks yang dibacanya doa-doa tersebut tidak disebutkan
Janganlah dia merasa bosan mengulang-ulanginya. Barangsiapa yang lalai melakukannya niscaya akan terhalang meraih kebaikan yang amat besar dan kehilangan keutamaan yang sangat agung.”
(Muqadimah Syarh Muslim, 1/204).
Dikisahkan oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menuliskan shad-lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!]
(Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249, http://abumushlih.com/untuk-para-penulis.html/)
Ibnu Shalah dalam Ulumul-Hadits berkata:
”Bagi orang yang menulis hadits, diharuskan untuk memberikan shalawat dan salam pada saat dia menyebutkan nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Dia dituntut untuk tidak bosan dalam mengulang-ulang jika dia berulangkali menyebut kan nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Karena hal itu merupakan faedah yang terbesar bagi orang-orang yang menuntut ilmu hadits dan orang-orang yang menulisnya. Dan barangsiapa yang lalai akan hal itu, maka dia pada saat itu telah menghilangkan keberuntungan yang sangat besar……”
(Ulumul Hadits li Ibni Shalah halaman 41 menurut tartib donlotan maktabah sahab).
Selanjutnya beliau mengatakan menyebutkan dua kebiasaan yang SALAH dalam penulisan shalawat dan salam terhadap Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang HARUS DIJAUHI oleh para penulis hadits :
Pertama: Menulisnya dengan tulisan yang kurang (menyingkat) dengan dua huruf atau yang semisalnya [misalnya dia hanya menulisnya dengan dua huruf Shad dan Mim atau lainnya = atau dalam tulisan kita : SAW – Abu Al-Jauzaa’].
Kedua: Menulisnya dengan tulisan yang maknanya berkurang. Misalnya menulisnya dengan : Wasallam. Meskipun kita kadang-kadang menemuinya di dalam tulisan ulama-ulama terdahulu”
[dikutip dari komentar abul jauzaa dalam salah satu artikel di website salafyitb]
Al-Fairuz-Abadi berkata dalam Ash-Shalatu wal-Basyar:
”Tidak seharusnya tulisan shalawat itu mempunyai rumus-rumus tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang malas, orang-orang yang bodoh, dan murid-murid yang awam. Mereka menulis shallallaahu ’alaihi wasallam dengan tulisan ”Shal’am” [صلعم]. Untuk itulah, maka tulisan dan bacaan shalawat harus ditulis dan dibaca dengan lengkap, tidak boleh dikurang-kurangi”.
[idem]
Fatwa-Fatwa ‘Ulama Mengenai Penyingkatan Shålawat
Fatwa Al Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Soal:
Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?
Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.
Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.
Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn ‘Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No.5069)
[Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm untuk http://ulamasunnah.wordpress.com]
Fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullåh
Soal:
“Sebagian orang menulis huruf “ص” di antara dua tanda kurung yang mereka maksudkan dengan itu sebagai simbol dari kalimat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (صلى الله عليه وسلم). Apakah hal ini dapat dibenarkan menulis huruf “ص” sebagai simbol dalam penulisan shalawat ?
Jawab:
Termasuk bagian dari adab-adab menulis hadits sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama mushthalah (hadits), adalah tidak menyingkat penulisan kalimat shalawat dengan huruf “ص”. Begitu pula tidak dituliskan dengan singkatan “صلعم” [Atau dalam bahasa Indonesia sering ditulis dengan singkatan “SAW” -abul jauzaa]. Tidak diragukan lagi bahwasannya penulisan simbol atau singkatan akan menyebabkan seseorang luput dari pahala bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apabila ia menulis kalimat shalawat dan kemudian ada orang yang membaca tulisan tersebut, maka Penulis pertama akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membacanya. Tidaklah samar bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara shahih :
“Barangsiapa yang bershalawat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”
[Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 384, Abu Dawud no. 523, dan An-Nasa’i no. 678 (tambahan takhrij hadits dari abul jauzaa)]
Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menghalangi dirinya perolehan pahala dan ganjaran akibat ketergesa-gesaannya untuk menyelesaikan apa yang akan ia tulis (dari kalimat shalawat).
[Diambil dan diterjemahkan dari Kitaabul-‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, pertanyaan no. 72, hal. 128-129, tahqiq : Shalaahuddin Mahmuud; Maktabah Nuurul-Hudaa, http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/fatwa-asy-syaikh-ibnu-utsaimin.html].
Fatwa asy-Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)
Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر-ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?
Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
[Diterjemahkan dari www.bakkah.net untuk http://ulamasunnah.wordpress.com]
Adab Menulis Salam
Kata salaam memuat makna keterbebasan dari setiap malapetaka dan perlindungan dari segala bentuk aib dan kekurangan. Salaam juga berarti aman dari segala kejahatan dan terlindung dari peperangan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan supaya menampakkan salam dan menyebarluaskannya
(Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Bab Keutamaan Salam dan Perintah Untuk Menyebarluaskannya).
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَاۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
(Qs. An-Nisaa’: 86)
Yang dimaksud dengan penghormatan pada ayat diatas adalah ucapan salam, yaitu:
- Assalaamu ‘alaykum
- Atau assalaamu ‘alaykum warahmatullaah
- Atau assalamu ‘alaykum warahmatullaah wabarakaatuh
Dalam ayat diatas juga terdapat perintah untuk membalas salam dengan yang lebih baik atau serupa dengan itu. Misalkan ada yang memberi salam dengan ucapan assalaamu ‘alaykum maka balaslah dengan yang serupa, yaitu wa’alaykumussalaam. Atau yang lebih baik dari itu, yaitu, wa’alaykumussalaam warahmatullaah, dan seterusnya.
Dari ayat yang mulia di atas dapat diketahui bahwa hukum menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau sama dengan apa yang diucapkan adalah fardhu atau wajib. Sedangkan membalas salam dengan lafadz yang lebih baik dari itu hukumnya adalah sunah. Maka berdosalah orang yang tidak menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau yang lebih baik dari itu. Karena dengan sendirinya dia telah menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan untuk membalas salam orang yang memberi salam kepada kita
(Lihat penjelasan al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Al-Masaail, Masalah Kewajiban Membalas Salam).
Dari penjelasan di atas, lafadz “aslkm” bahkan “ass” dan singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dalam kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam, sementara dalam lafadz tersebut tidak mengandung makna salam yaitu penghormatan dan do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dalam perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tidak sepantasnya, bahkan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzu billah).
sumber : http://abuzuhriy.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar