Jam belum lagi menunjukkan tengah hari, tetapi terik mentari begitu menyengat dan karena kota kami terletak di tepi laut, maka kelembaban udara pun sangat tinggi. Kombinasi yang sangat menyesakkan, serasa berada di tengah ruang sauna. Kami berjalan dari klinik ke tempat parkir. Hanya beberapa belas meter, tetapi keringat segera saja bercucuran membasahi sekujur tubuh. Abu Ibrahim mengambil Khadijah dari tanganku dan melangkah cepat di depanku. Tiba di kendaraan, ia membuka pintu untukku, mempersilakan aku duduk lalu baru mengembalikan Khadijah padaku, karena ia harus mengemudi.
Dua setengah tahun lalu, Abu Ibrahim bukan apa-apa bagiku. Jangankan mengenalnya, mendengar namanya pun tak pernah. Aku baru mengenalnya ketika ia masuk dalam kehidupanku…atau mungkin lebih tepat jika aku katakan, ketika aku masuk dalam kehidupannya, kehidupan keluarga besarnya, dengan menikahi ayahnya.
Untuk seorang lelaki yang harus menerima kehadiran perempuan kedua selain ibu kandungnya ketika ayahnya menikahi aku, sungguh Abu Ibrahim adalah cerminan kecintaan, dalamnya ilmu dan pemahamannya akan Islam. Aku ingat kali pertama aku bertemu dengannya. Yang pertama kali ia lakukan adalah memberi salam lalu mencium keningku layaknya aku ibunya. “Selamat datang di keluarga kami,” sambutnya.
Abu Ibrahim, sebagai anak lelaki tertua di keluarga ini banyak mewakili ayahnya untuk urusan-urusan keluarga ketika ayahnya sedang tidak berada di tengah kami untuk berbagai keperluan kerja. Setiap kali ayahnya keluar kota, pagi-pagi sekali Abu Ibrahim akan mengetuk pintu rumahku dan berpesan,
” What ever you need, don’t hesitate, just call me, or send me message.”
Maka untuk berbagai urusanku yang memerlukan seorang mahram di sampingku ketika ayahnya harus melaksanakan keperluan lain, Abu Ibrahim selalu siap mendampingi, seperti hari ini, mengantarku membawa Khadijah imunisasi di sebuah klinik. Mulai dari membawaku ke klinik, membacakan do’a untuk Khadijah, berurusan dengan petugas pendaftaran dan administrasi, berbicara kepada dokter dan perawat, membayar tagihan, sampai membawaku kembali pulang. Sempurna.
Berapa banyakkah anak lelaki yang mau menerima kehadiran perempuan kedua (sampai ke-empat) dalam kehidupan rumah tangga orang tuanya? Berapa banyak orang tua yang memiliki kesadaran dalam mendidik anak-anak lelaki mereka untuk mau menerima bahkan memperlakukan perempuan kedua itu dengan penghormatan yang sama seperti layaknya orang tua kandung mereka?
Duhai, jangankan mendidik anak lelaki kita untuk menerima istri kedua – empat, kita bahkan sering kali lalai mendidik anak-anak lelaki kita untuk memperlakukan mahram mereka dengan sebaik-baik perlakuan sebagaimana Rasulullah mengajarkan. Kita lalai bahwa salah satu yang harus dipertanggung jawabkan oleh kaum lelaki di hari perhitungan kelak adalah kewajibannya terhadap perempuan-perempuan yang berada di bawah naungannya, mahramnya. Bukan hanya saudara sedarah dan tidak peduli apakah itu ibu kandung atau istri kedua – empat ayahnya, termasuk anak-anak yang lahir dari pernikahan orang tua mereka, mahram adalah mahram. Ketika qadar Allah menentukan sebuah ikatan terjalin, maka kewajiban harus dilaksanakan.
Dalam sebuah diskusi tentang ta’addud, pernah satu kali aku tergoda untuk bertanya pada Abu Ibrahim, mengapa ia begitu baik padaku. Dengan senyum di bibirnya yang selalu basah oleh dzikr dan do’a, ia menjawab :
“Because I am your mahram. That makes you, my responsibility.”
Lalu kembali berdzikr.
Ummahat, mari didik anak lelaki kita untuk teguh melaksanakan tanggung jawabnya terhadap mahram mereka, apapun bentuk ikatan yang menjadikan mereka saling berhubungan sebagai mahram. Agar tak ada lagi perempuan melangkah keluar tanpa pendamping. Agar tidak ada lagi anak-anak perempuan tanpa ayah. Agar tak ada lagi janda-janda membanting tulang menghidupi dirinya sendiri sementara mahram mereka sibuk dengan urusan lain.
Semoga Allah merahmati Abu Ibrahim dan keluarganya; dan melindungi mereka agar tetap berada di jalanNYA. Aamiin.
- shalihah.com -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar