Cumbuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada istrinya
Berkata Ibnu Katsir, “…Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur bersama salah seorang istri-istrinya di dalam satu baju, beliau melepaskan rida (selendang) dari kedua pundaknya dan beliau tidur dengan sarungnya” (Tafsir Ibnu Katsir I/467)
عن ميمونة رضي الله عنها قالت : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ
Dari Maimunah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui istri-istrinya di atas (tempat diikatnya) sarung[1] dan mereka dalam keadaan haid” (HR Muslim I/243 no 294)
وعن أم سلمة رضي الله عنها قالت : بَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْخَمِيْلَةِ إِذْ حُضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضَتِي فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَفِسْتِ ؟ قُُُُُُُُُُلْتُ نَعَمْ ، فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيْلَةِ
Dari Ummu Salamah berata, “Tatkala aku sedang berbaring bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah kain (berselimutan sebuah kain), tiba-tiba aku haid. Maka akupun diam-diam keluar dan mengambil baju haidku, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau haid?”, aku berkata, “Iya”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku dan akupun berbaring bersama beliau dalam sebuah kain”.
Ummu Salamah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan ia sedang puasa, ia juga mengabarkan bahwasanya ia dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi janabah bersama di sebuah tempayan. (HR Al-Bukhari I/122 no 316, II/681 no 1828, Muslim I/243 no 296)
Berkata Ibnu Katsir, “…Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur bersama salah seorang istri-istrinya di dalam satu baju, beliau melepaskan rida (selendang) dari kedua pundaknya dan beliau tidur dengan sarungnya” (Tafsir Ibnu Katsir I/467)
عن ميمونة رضي الله عنها قالت : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ
Dari Maimunah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui istri-istrinya di atas (tempat diikatnya) sarung[1] dan mereka dalam keadaan haid” (HR Muslim I/243 no 294)
وعن أم سلمة رضي الله عنها قالت : بَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْخَمِيْلَةِ إِذْ حُضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضَتِي فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَفِسْتِ ؟ قُُُُُُُُُُلْتُ نَعَمْ ، فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيْلَةِ
Dari Ummu Salamah berata, “Tatkala aku sedang berbaring bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah kain (berselimutan sebuah kain), tiba-tiba aku haid. Maka akupun diam-diam keluar dan mengambil baju haidku, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau haid?”, aku berkata, “Iya”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku dan akupun berbaring bersama beliau dalam sebuah kain”.
Ummu Salamah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan ia sedang puasa, ia juga mengabarkan bahwasanya ia dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi janabah bersama di sebuah tempayan. (HR Al-Bukhari I/122 no 316, II/681 no 1828, Muslim I/243 no 296)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bareng bersama istri-istrinya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama istri-istri beliau. Beliau mandi bersama Ummu Salamah (sebagaimana telah lalu penyebutannya) (HR Al-Bukhari I/122 no 316, II/681 no 1828, Muslim I/243 no 296, I/256 no 324). Beliau juga mandi bersama Aisyah sebagaimana tuturan Aisyah, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama dari satu tempayan”. (HR Al-Bukhari I/100 no 247)
Aisyah juga berkata,
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُوْلُ دَعْ لِيْ دَعْ لِيْ قَالَتْ وَهُمَا جُنُبَانِ
“Aku mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu tempayan (yang diletakan) antara kami berdua, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku (dalam mengambil air dari tempayan) hingga aku berkata, “Sisakan air buatku, sisakan air buatku”. Dan mereka berdua dalam keadaan junub. (HR Muslim I/257 no 321)
Beliau juga mandi bareng bersama Maimunah. ( HR Al-Bukkhari I/101 no 250, Muslim I/256 no 322)
Sunnah mandi bareng sering dilupakan oleh para suami, padahal penerapan sunnah ini sangat membantu dalam menambah kasih sayang diantara suami istri sehingga semakin menghidupkan rumah tangga yang romantis.
Faedah:
Berkata Ibnu Hajar, “Dawudi berdalil dengan hadits ini (yaitu tentang mandinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Aisyah) bahwasanya boleh bagi seorang pria melihat aurat istrinya dan juga sebaliknya. Dan hal ini dikuatkan lagi dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang seorang pria yang melihat kemaluan istrinya maka ia berkata, “Aku telah menanyakan hal ini kepada Ato’ dan ia berkata, “Aku telah bertanya kepada Aisyah (tentang hal ini) lalu Aisyah menyebutkan hadits ini”. Dan hadits ini merupakan nas (dalil yang tegas) akan bolehnya hal ini”. (Fathul Bari I/364)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُوْنَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
“Aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya (Maimunah) beberapa lama kemudian beliau tidur”. ( HR Al-Bukhari IV/1665 no 4293, VI/2712 no 7014 dan Muslim I/530 no 763)
Hukum asal berbincang-bincang setelah sholat isya’ adalah dibenci, Sebagaimana dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami dimana beliau berkata,
وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya’ dan berbincang-bincang setelahnya” (HR Al-Bukhari I/201 no 522, I/208 no 543 dan Muslim I/447 no 647)
namun jika karena ada kepentingan yang berkaitan dengan agama seperti membahas kepentingan yang berkaitan dengan kaum muslimin maka dibolehkan atau untuk menuntut ilmu maka dibolehkan. Dan diantara perbincangan yang boleh dilakukan setelah isya’ adalah perbincangan antara suami dan istri sebelum tidur sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istrinya.
Sunnah ini telah dilalaikan oleh banyak pasangan suami istri, terutama jika keduanya telah sibuk di siang hari maka waktu di malam hari digunakan langsung untuk istirahat tanpa ada perbincangan antara mereka berdua. Terkadang karena saking sibuknya tidak ada waktu bagi sang suami untuk berbincang-bincang dengan istrinya yang terkadang telah lama menanti kedatangan suaminya yang sibuk bekerja di siang hari, ia ingin menikmati suara suaminya..ingin menikmati gurauan dan canda suaminya sebelum tidur…, atau ia ingin menyampaikan unek-uneknya…??!!!
Bukankah istri merupakan orang yang terdekat dengannya…??, bukankah istri merupakan pakaian yang dipakainya…???
Allah berfirman
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ (البقرة : 187 )
Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QS. 2:187)
Sesungguhnya sunnah yang kelihatannya sepele ini namun jika diterapkan maka akan semakin tumbuh benih kasih sayang antara dua sejoli.
Faedah :
Hadits ini dibawakan oleh Imam Al-Bukhari dengan sebagian lafal yang lain dari jalan yang lain[2] dalam باب السَّمْرُ فِي الْعِلْمِ (bab berbincang-bincang di malam hari untuk menuntut ilmu) padahal hadits ini sama sekali tidak menyebutkan tentang perbincangan di malam hari dalam rangka untuk menuntut ilmu. Ibnu Hajar berkata menjelaskan maksud Imam Al-Bukhari, “Hanyalah maksud Imam Al-Bukhari pada hadits ini adalah lafal yang tercantum dalam hadits ini dari jalan yang lain yang menunjukan secara jelas tentang hakikat samr (perbincangan di malam hari) setelah isya’…jika dikatakan bahwasanya hadits ini hanyalah menunjukan perbincangan di malam hari bersama istri bukan perbincangan tentang ilmu agama maka jawabannya adalah (hukum) perbincangan dengan istri diikutkan dengan (hukum) perbincangan di malam hari tentang ilmu, karena keduanya sama-sama untuk memperoleh faedah. Atau dengan dalil fahwal khithob (mafhum mukholafah), karena jika dibolehkan berbincang-bincang di malam hari pada perkataan yang mubah (berbicara dengan istri) maka berbincang-bincang karena perkara mustahab (tentang ilmu agama) lebih utama”. (Fathul Bari I/213)
Tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapan istri-istri beliau
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tawadhu’ (rendah diri) dihadapan istri-istrinya, sampai-sampai beliau membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga –meskipun ditengah kesibukan beliau menunaikan kewajiban beliau untuk menyampaikan risalah Allah atau kesibukan mengatur kaum muslimin-.
Aisyah berkata, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi sholat”. (HR Al-Bukhari V/2245 no 5692)
Imam Al-Bukhari membawakan perkataan Aisyah ini dalam dua bab yaitu “Bab tentang bagaimanakah seorang (suami) di keluarganya (istrinya)?” dan “Bab seseorang membantu istrinya”
عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember”. (HR Ibnu Hibban (Al-Ihsan XII/490 no 5676, XIV/351 no 6440),)
Dalam buku Syama’il karya At-Thirmidzi, “Dan memerah susu kambingnya...” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di As-Shahihah 671)
Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menganjurkan untuk bersikap rendah diri dan meninggalkan kesombongan serta seorang suami yang membantu istrinya”. (Fathul Bari II/163)
Hal ini tidak sebagaimana yang kita lihat pada sebagian suami yang merasa terhina jika melakukan hal-hal seperti ini, merasa rendah jika membantu istrinya mencuci, meneyelesaikan beberapa urusan rumah tangga…, apalagi jika mereka adalah para suami berjas (alias kantoran). Maka seakan-akan pekerjaan seperti ini tidak pantas mereka kerjakan. Atau mereka merasa ini hanyalah tugas ibu-ibu dan para suami tidak pantas dan tidak layak untuk melakukannya.
Berikut ini beberapa kisah yang menunjukan tawadu’nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapan istri-istrinya
وعن أنس رضي الله عنه قال : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ ، فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِصَحْفَةِ فِيها طَعَامٌ فَضَرَبَتْ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيْهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُوْلُ : غَارَتْ أُمُّكُمْ . . .
Dari Anas bin Malik berkata, “Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat salah seorang istrinya maka salah seorang istri beliau (yang lain) mengirim sepiring makanan. Maka istri beliau yang beliau sedang dirumahnyapun memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah (sehingga makanan berhamburan). Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang tadinya di piring, beliau berkata, “Ibu kalian cemburu….” (HR Al-Bukhari V/2003 no 4927)
Lihatlah…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak marah akibat perbuatan istrinya yang menyebabkan pecahnya piring…beliau tidak berkata, “Lihatlah..makanan berhamburan…!!!, ayo kumpulkan makanan yang berhamburan ini…!!!, ini adalah perbuatan mubadzir…!!!”.
Akan tetapi beliau mendiamkan hal tersebut….bahkan beliaulah –dengan tawadhu’nya- yang langsung mengumpulkan pecahan piring dan mengumpulkan makanan yang berhamburan…padahal di samping beliau ada pembantu…!!!
Tidak cukup sampai di situ saja..bahkan beliau memberi udzur (alasan) untuk membela sikap istri beliau tersebut agar tidak dicela, beliau berkata, “Ibu kalian cemburu…”…!!!
Beliau menghadapi persamalahan rumah tangganya dengan tenang dan bijak, bagaimanapun beratnya permasalahan tersebut. Beliau bisa menenangkan istri-istri beliau jika timbul kecemburuan diantara mereka, padahal istri-istri beliau sembilan. Sebagian suami yang tidak bisa mengatasi permasalahan istri-istrinya dengan tenang, padahal istrinya hanya dua, apalagi empat???. Bahkan sebagian suami tidak mampu mengatasi permasalahan rumah tangganya dengan tenang dan bijaksana padahal istrinya hanya satu…???!!.
Berkata Ibnu Hajar, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ibu kalian cemburu” adalah udzur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (buat istrinya yang menyebabkan pecahnya piring) agar sikap istrinya tersebut tidak dicela, akan tetapi sikap tersebut biasa terjadi diantara seorang istri dengan madunya karena cemburu. Rasa cemburu itu memang merupakan tabiat yang terdapat dalam diri (wanita) yang tidak mungkin untuk ditolak”. (Fathul Bari V/126)
Ibnu Hajar juga berkata, “Mereka (para pensyarah hadits ini) berkata bahwasanya pada hadits ini ada isyarat untuk tidak menghukum wanita yang cemburu karena sikap kekeliruan yang timbul darinya. Karena ia tatkala cemburu akalnya tertutup karena marah yang sangat yang dikobarkan oleh rasa cemburu. Abu Ya’la telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang tidak mengapa (hasan) dari Aisyah secara marfu’ أَنَّ الْغَيْرَاءَ لاَ تُبْصِرُ أَسْفَلَ الْوَادِي مِنْ أَعْلاَهُ “Wanita yang cemburu tidak bisa membedakan antara bagian bawah lembah dan bagian atasnya”… dan dari Ibnu Mas’ud –dia menyandarkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- اللهُ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلَى النِّسَاءِ فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ كَانَ لَهُ أَجْرُ شَهِيْدٍ “Allah menetapkan rasa cemburu pada para wanita, maka barangsiapa yang sabar terhadap mereka maka baginya pahala orang mati syahid”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Al-Bazzar mengisyaratkan akan sahihnya hadits ini. Para perawinya tsiqoh (terpercaya) hanya saja para ulama memperselisihkan (kredibilitas) perawi ‘Ubaid bin As-Sobbah”. (Fathul Bari IX/325)
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم خَيْبَرَ فَلَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ الْحِصْنَ ذُكِرَ لَـُه جَمَالُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَي بْنِ أَخْطَبَ وَقَدْ قُتِلَ زَوْجُهَا وَكَانَتْ عَرُوْسًا فَاصْطَفَاهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِنَفْسِهِ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الْمَدِيْنَةِ...
قال فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَحْوِي لَهَا وَرَاءَهُ بِعِبَاءَةٍ ثُمَّ يَجْلِسُ عِنْدَ بَعِيْرِهِ فَيَضَعُ رُكْبَتَهُ فَتَضَعُ صَفِيَّةُ رِجْلَهَا عَلَى رُكْبَتِهِ حَتَّى تَرْكَبَ
Dari Anas bin Malik berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Khoibar, tatkala Allah memenangkan beliau untuk membuka benteng (menguasai) Khoibar disebutkan kepada beliau tentang cantiknya Sofiah bin Huyai bin Akhthob dan suami Shofiah telah tewas dan tatkala itu Sofiyah masih pengantin baru. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memilihnya untuk menjadi istrinya. Lalu keluarlah kami menuju kota Madinah... Anas berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan kelambu di atas onta untuk Sofiyah lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat onta lalu meletakan lutut beliau, lalu Sofiyah menginjakkan kakinya di atas lutut beliau untuk naik di atas onta…”. (HR Al-Bukhari II/778 no 2120, III/1059 no 2736)
Lihatlah…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian (tawadhu’ pada istri beliau) dihadapan banyak orang (para sahabat)…!!!, kenapa…???, agar para sahabat meneladaninya…agar kita meneladaninya…!!
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قَالَتْ دَخَلَ الحَبَشَةُ الْمَسْجِدَ يَلْعَبُوْنَ فَقَالَ لِي يَا حُمَيْرَاءُ أَتُحِبِّيْنَ أَنْ تَنْظُرِي إلَيْهِمْ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَامَ باِلْبَابِ وَجِئْتُهُ فَوَضَعْتُ ذَقَنِي عَلَى عَاتِقِهِ فَأَسْنَدْتُ وَجْهِي إِلَى خَدِّهِ ... فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم حَسْبُكِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْل اللهِ لاَ تَعْجَلْ فَقَامَ لِي ثُمَّ قَالَ حَسْبُكِ فَقُلْتُ لاَ تَعْجَلْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَتْ وَمَالِي حُبُّ النَّظْرِ إِلَيْهِمْ وَلَكِنِّي أَحْبَبْتُ أَنْ يَبْلُغَ النِّسَاءَ مَقَامُهُ لِي وَمَكَانِي مِنْهُ
Dari Aisyah berkata, “Orang-orang Habasyah (Ethiopia) masuk kedalam masjid bermain, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada, “Wahai yang kemerah-merahan (maksudnya adalah Aisyah)[3], apakah engkau ingin melihat mereka?”, aku berkata, “Iya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri di pintu lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya dan aku sandarkan wajahku di pipinya…Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)”, aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru”, lalu beliau (tetap) berdiri untukku (agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia berkata, “Sudah cukup”, aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru”. Aisyah berkata, “Aku tidak ingin terus melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR Al-Bukhari V/2006 no 4938, Muslim II/608 no 892, An-Nasai no 1594 (Al-Kubro V/307 no 8951 dan ini adalah lafal di Sunan An-Nasa’i Al-Kubro)
Lihatlah bagaimana tawadhu’nya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdiri menemani Aisyah menyaksikan permainan orang-orang Habasyah, bahkan beliau terus berdiri hingga memenuhi keinginan Aisyah sebagaimana perkataan Aisyah dalam riwayat yang lain, “Hingga akulah yang bosan (melihat permainan mereka)”. (HR Al-Bukhari V/2006 no 4938)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak segan-segan memberikan waktunya kepada istrinya untuk memenuhi keinginan istrinya karena beliau adalah orang yang paling lembut kepada istri-istri dalam segala hal selama masih dalam parkara-perkara yang mubah (dibolehkan).
Renungkanlah kisah yang dituturkan oleh Aisyah..
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوْا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ فَقَالُوْا أَلاَ تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالنَّاسِ وَلَيْسُوْا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُوْ بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَاضِعُ رَأْسِهِ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالنَّاسَ وَلَيْسُوْا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَعَاتَبَنِي أَبُوْ بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلُ وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي فَلاَ يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلاَّ مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى فَخِذِي فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِيْنَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ }فَتَيَمَّمُوْا{ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنِ الْحُضَيْرِ مَا هِيَ بَأَوَلِ بَرَكَتِكُمْ ياَ آلَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَبَعَثْنَا الْبَعِيْرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيِهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ
Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safar beliau (yaitu tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya berangkat berperang melawan kaum yahudi kabilah bani Mushtholiq[4]) , hingga tatkala kami sampai di Al-Baidaa’ di Dzatuljaisy kalung milikku terputus maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut, dan orang-orang yang beserta beliaupun ikut terhenti, padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci. Maka orang-orangpun pada berdatangan menemui Abu Bakar As-Shiddiq dan berkata, “Tidakkah engkau lihat apa yang telah diperbuat Aisyah, ia menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci”. Maka Abu Bakar menemuiku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbaring meletakan kepalanya di atas pahaku dan beliau telah tertidur. Lalu ia berkata, “Engkau telah menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti padahal orang-orang dalam keadaan tidak bersuci dan mereka tidak memiliki air”. Aisyah berkata, “Maka Abu Bakar mencelaku dan berkata dengan perkataannya lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Dan tidaklah mencegahku untuk bergerak (karena kesakitan) kecuali karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun tatkala subuh dalam keadaan tidak bersuci lalu Allah turunkan ayat tayammum {فَتَيَمَّمُوْا} (Bertayammumlah..). Berkata Usaid bin Al-Hudhoir, “Ini bukanlah awal barokah kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Aisyah berkata, “Lalu kami mengutus unta yang tadinya aku naik di atasnya maka kami mendapati ternyata kalung (yang hilang) terdapat di bawah unta tersebut”. (HR Al-Bukhari I/127 no 327)
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberhentikan pasukan perangnya yang sedang berangkat untuk menyerang orang-orang Yahudi hanya untuk mencari kalung Aisyah yang jatuh..!!!.
Bahkan Rasulullah memerintahkan sebagian sahabatnya yang dipimpin oleh Usaid bin Al-Hudhoir untuk mencari kalung tersebut[5]. Bahkan disebutkan bahwa kalung Aisyah yang hilang nilainya murah, ada yang mengatakan nilainya hanya dua belas dirham…!!![6] Apalagi di tengah malam dan para sahabat dalam keadaan tidak bersuci...!!!, apalagi mereka tidak membawa air…!!!.
Ini semua menunjukan bagaimana perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tawadhu’ beliau kepada istri-istri beliau.
Yang sungguh sangat disayangkan sebagian suami sangat pelit terhadap istrinya…bukan hanya pelit terhadap hartanya, bahkan pelit terhadap waktunya…seakan-akan waktunya sangat berharga tidak pantas untuk dihabiskan bersama istrinya. Sebagian suami sangat tidak sabar untuk menemani istrinya belanja…!!!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangkan hati istri-istrinya
Termasuk perkara yang menguatkan tali kasih sayang diantara dua sejoli adalah variasi dalam cara bermuamalah dengan istri. Dan tidak diragukan lagi bahwa diantara cara mu’amalah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat adalah berusaha untuk menyenangkan hati istri. Menyenangkan hati orang lain secara umum merupakan ibadah, apalagi menyenangkan hati seorang istri secara khusus yang telah banyak berjasa kepada suaminya. Dialah yang telah bersusah payah mengurus kebutuhan-kebutuhan suaminya, dialah yang mengurus anak-anak, dan pekerjaan-pekerjaan yang lainnya yang tidak diragukan lagi akan besarnya jasa seorang istri bagi suaminya. Tidak ada salahnya jika seorang suami memberikan hadiah “yang agak bernilai” untuk istrinya…, jika ia memang tidak mampu untuk melakukan demikian maka senangkanlah hati istrinya dengan cara-cara yang lain…, bahkan dengan perkataan yang baik terkadang lebih bermakna dari pada harta yang banyak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ “Perkataan yang baik adalah sedekah”. (HR Al-Bukhari III/1090 no 2827, Muslim II/699 no 1009)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa perbuatan atau perkataan yang asalnya mubah namun jika diniatkan untuk menyenangkan hati orang lain maka akan bernilai ibadah. (Al-Qoulul Mufiid (Bab tentang لَو, tatkala beliau menjelaskan tentang hadits Abu Huroiroh اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنفَعُكَ...))
Diantara dalil yang menunjukan bahwa membuat istri senang dan tertawa merupakan perkara yang disunnahkan dan dituntut dalam syari’at adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir tatkala Jabir baru menikah
فَهَلاَّ جَارِيَةٌ تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ
“Kenapa engkau tidak menikahi yang masih gadis sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia bermain denganmu (saling cumbu-cumbuan), engkau membuatnya tertawa dan ia membuatmu tertawa?”( HR Al-Bukhari 5/2053, Muslim 2/1087, Abu Dawud 2/220, An-Nasai di Al-Kubro 3/265, dan Al-Mujtaba 6/61)
Diantara contoh sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyenangkan hati istri-istri beliau adalah sebagai berikut
عن عائشة أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرِهِ ، وَهِيَ جَارِيَةٌ قَالَتْ : لَمْ أَحْمِلِ اللَّحْمَ ، وَلَمْ أَبْدَنْ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ، فَتَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعاَلَيْ أُسَابِقُكِ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلِي ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدُ ، خَرَجْتُ مَعَهُ فِي سَفَرٍ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعَالَيْ أُسَابِقُكِ ، وَنَسِيْتُ الَّذِي كَانَ ، وَقَدْ حَمِِلْتُ اللَّحْمَ ، وَبَدَنْتُ ، فَقُلْتُ : كَيْفَ أُسَابِقُكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأنَا عَلَى هَذِهِ الْحَالِ ؟ فَقَالَ : لَتَفْعَلَنَّ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقَنِي ، فَجَعَلَ يَضْحَكُ ، وَ قَالَ : هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ
Dari Aisyah bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersafar, dan tatkala itu ia masih gadis remaja (Aisyah berkata, “Aku tidak gemuk), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah ke depan”, lalu merekapun maju ke depan. Kemudian beliau berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, maka akupun berlomba dengannya dan aku mengalahkannya. Tatkala di kemudian hari aku bersafar bersama beliau lalu beliau berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah maju ke depan”, kemudian ia berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, dan aku telah lupa perlombaan yang dulu dan tatkala itu aku sudah gemuk. Maka akupun berkata, “Bagaimana aku bisa mengalahkanmu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kondisiku sekarang seperti ini?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau akan berlomba denganku”, maka akupun berlomba dengannya lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku, kemudian beliaupun tertawa dan berkata, “Ini untuk kekalahanku yang dulu” (Syaikh Al-Albani berkata, “Dikeluarkan oleh Al-Humaidi di Musnadnya, Abu Dawud, An-Nasai, At-Thobroni dan isnadnya shahih sebagaimana perkataan Al-Iroqi dalam takhrij Al-Ihya’” (Adabuz Zifaf hal 204))
Hadits ini jelas menunjukan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan sikap lembut beliau kepada istri beliau. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencandai istrinya di hadapan para sahabatnya. Kalau kita perhatikan hadits ini jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba dengan Aisyah di awal kali bukanlah untuk kemenangan akan tetapi jelas untuk menyenangkan hati Aisyah. Kemudian setelah waktu yang lama setelah Aisyah gemuk beliau untuk kedua kalinya mengajak Aisyah berlomba untuk menyenangkan hati Aisyah, dan lomba yang kedua kali ini lebih terasa pengaruhnya dalam menyenangkan hati Aisyah.
Contoh yang lain
عَنْ عَائِشَةَ قاَلَتْ قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّى رَاضِيَةً وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى ، فَقُلْتُ : وَمِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّى رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُوْلِيْنَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ ، وَإِذَا كُنْتِ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيْمَ !! ، قَالَتْ : قُلْتُ : أَجَلْ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ
Dari Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku tahu jika engkau sedang ridho kepadaku dan jika engkau sedang marah kepadaku”. Aku berkata, “Dari mana engkau tahu hal itu?”, beliau berkata, “Adapun jika engkau ridho kepadaku maka engkau berkata “Demi Robnya Muhammad”, dan jika engkau sedang marah maka engkau berkata, “Demi Robnya Ibrahim”!!. Aku berkata, “Benar, demi Allah wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak menghajr (marah) kecuali hanya kepada namamu”. (HR Al-Bukhari V/2004 no 4930 dan Muslim IV/1890 no 2439)
Hadits ini menunjukan bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat dan arahan kepada istrinya, dimana beliau ingin agar Aisyah merasa bahwa ia tahu kapan Aisyah marah kepadanya dan kapan ridho kepadanya. Beliau menyampaikan hal ini kepada Aisyah tatkala Aisyah dalam keadaan tenang, beliau menunjukan kepada Aisyah bahwasanya beliau sangat sayang dan memperhatikan Aisyah bahkan tatkala Aisyah sedang marah kepadanya. Kemudian beliau menyampaikan hal ini dengan metode canda yang membuat Aisyah senang dan menjawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh adab yang disertai dengan canda juga “Benar, demi Allah wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak menghajr (marah) kecuali hanya kepada namamu”
Bersambung ...
Kota Nabi -shallahu ‘alaihi wa sallam -, 5 Februari 2006
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi, yaitu di atas pusat (Al-Minhaj III/203)
[2] HR Al-Bukhari I/55 no 117
[3] Maksudnya adalah karena putihnya Aisyah sehingga nampak kemerah-merahan (An-Nihayah fi Ghoribil Hadits I/438)
[4] Fathul Bari I/432
[5] Berkata Ibnu Hajar, “Dalam riwayat Muslim, ((Maka Nabi mengutus sekelompok sahabatnya untuk mencari kalung tersebut)), dan dalam riwayat Abu Dawud, ((Maka Nabi mengutus Usaid bin Al-Hudhoir dan sekelompok orang bersamanya)). Maka penggabungan dari kedua riwayat ini yaitu Usaid adalah pemimpin para sahabat yang ditugaskan oleh Nabi untuk mencari kalung tersebut…” (Al-Fath I/435)
[6] Syarh Az-Zarqooni I/160 dan Umdatul Qoori’ IV/3
[2] HR Al-Bukhari I/55 no 117
[3] Maksudnya adalah karena putihnya Aisyah sehingga nampak kemerah-merahan (An-Nihayah fi Ghoribil Hadits I/438)
[4] Fathul Bari I/432
[5] Berkata Ibnu Hajar, “Dalam riwayat Muslim, ((Maka Nabi mengutus sekelompok sahabatnya untuk mencari kalung tersebut)), dan dalam riwayat Abu Dawud, ((Maka Nabi mengutus Usaid bin Al-Hudhoir dan sekelompok orang bersamanya)). Maka penggabungan dari kedua riwayat ini yaitu Usaid adalah pemimpin para sahabat yang ditugaskan oleh Nabi untuk mencari kalung tersebut…” (Al-Fath I/435)
[6] Syarh Az-Zarqooni I/160 dan Umdatul Qoori’ IV/3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar