Wajar jika seorang yang hendak menikah berharap mendapat pasangan yang bisa dicintai dan mencintainya. Itulah salah satu hikmah disyariatkannya nazhar (melihat si calon) agar ditemukan sesuatu darinya yang bisa membuat kita tertarik kelak.
Seorang pemuda pernah menjalani proses ta'aruf dengan seorang gadis. Dari beberapa komunikasi yang dilakukan, si pemuda menangkap kesan bahwa sang gadis mencari suami yang baik, penuh perhatian, sanggup membimbing, sopan, humoris, penyayang, dan sebagainya. Sementara si pemuda merasa tidak berkualifikasi sehebat itu. Ia memandang dirinya sebagai orang yang blak-blakan kalau bicara sehingga terkesan kasar, lumayan cuek, kurang perhatian, serta ngga sensitif dengan perasaan orang lain. Singkatnya ia merasa tidak masuk kriteria sang gadis, atau -meminjam istilah matematika- berada diluar semesta pembicaraan.
Tapi benarkah jika seorang istri, yang menemui kenyataan bahwa sang suami ternyata berbeda dengan bayangannya tentang seorang "pangeran" yang diimpikannya selama ini, akan sulit mencintai suaminya? Belum tentu. Memang benar, harapan yang mengangkasa sering membuat frustasi. Marital expectation berbanding terbalik dengan marital satisfaction, konon begitu katanya. Tapi seorang pengamat pernikahan yang sering tampil di TV, yang lebih pas untuk laki-laki adalah istilah jatuh cinta, sementara yang sering dialami wanita adalah tumbuh cinta. Ya menumbuhkan cinta, inilah kuncinya.
Seorang teman yang sudah cukup lama berumah tangga bercerita tentang filosofinya, telaten. Artinya untuk mendapatkan cinta istrinya ia harus telaten dalam memberikan perhatian, bersikap baik, dan terus menerus membiarkan istrinya tahu bahwa ia memang menyayanginya. Mungkin perhatian bukan sifat dasarnya, tapi untuk mendapatkan cinta istrinya, ia memang merasa harus berjuang.
Disisi lain saya (penulis) sedih melihat kehidupan sekarang. Banyak kaum muslimin yang belum apa-apa namun sudah pandai mempraktikkan sikap telaten terhadap perempuan. Pria-pria yang masih bau kencur maupun bau tanah itu tahu bagaimana memenuhi kebutuhan perempuan untuk didengarkan, dipuji, dimengerti, dan diperhatikan. Padahal perempuan itu bukanlah istrinya, dan bahkan berniat untuk dijadikan istripun tidak. Cuma rasa bangga bisa menaklukkan perempuan yang menjadi motivasinya.
Maka anda, wahai para suami, jangan kalah dengan mereka. Jika anda merasa bahwa istri belum isa sepenuhnya menerima dan mencintai (entah apa sebabnya), jangan putus asa. Jadilah orang yang paling berakhlaq mulia, terutama kepada istri anda. Biarkan dia tahu bahwa disisi suaminya, dia itu bermakna dan dibutuhkan. Pemerintah kita saja pernah dengan rendah hati menyatakan ingin merebut hati masyarakat Aceh, mengapa kita tidak bisa merendah seperti itu. kalau tumbuh cinta dihatinya, bukankah itu untuk kebahagiaan anda juga?
Bila anda bersungguh-sungguh, tentu si istri juga membantu anda merasa layak menjadi "pria sempurnanya", meskipun anda sendiri tidak sempurna. Insya'alloh
sumber : http://rumah-ku.blogspot.com/2005/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar