Bismillahirrokhmaanirrokhiim,...
Di sebuah pesantren, seorang santri yang baru mondok setahun berkeluh kesah (curhat) kepada ustadz-nya,
“Ustadz, kenapa sih saya harus repot-repot mengaji seperti ini?”
“Lho, sampean (bahasa Jawa, artinya kamu, tapi lebih sopan) kan sedang mondok di pesantren ini, ya harus mengikuti semua kajian kitab,” jawab sang ustadz.
“Saya capek, Ustadz. Kitabnya ganti-ganti terus. Hari Senin habis maghrib belajar nahwu (gramatika bahasa Arab), terus setelah Isya’ mengaji sharaf (perubahan kata dasar bahasa Arab. Sharaf adalah gandengan nahwu. Ibarat orang tua, nahwu seumpama ayah, sedangkan sharaf laksana ibu). Hari Selasa ba‘da maghrib belajar Taqrîb (kitab fiqh), ba‘da Isya’ ganti kitab Mushthalâh al-Hadîts (ilmu tentang istilah-istilah yang berkaitan dengan hadits). Setiap hari ganti kitab. Belum lagi, saya kan juga sekolah, Ustadz.”
“Memangnya kenapa? Kan masih kitab-kitab dasar. Belum susah kan?” kata sang ustadz mencoba untuk menghibur.
“Iya, sih… Tapi Ustadz, kitab-kitab itu kan berlanjut terus. Nahwu saja ada tingkatan-tingkatannya. Setelah khatam Jurumiyah, lalu dilanjut ke ‘Imrîthiy. Setelah ‘Imrîthiy, masih harus lanjut ke Mutammimah, dan terakhir kitab Alfiyyah Ibnu Malik Syarah Ibnu ‘Aqil.”
“Lho… justru itu, kan nanti jadi pintar. Tambah hebat, gitu loh…:)”
“Iya, sih… Tapi kan, Itu baru nahwu. Kitab-kitab lain juga banyak sekali lanjutannya, Ustadz.”
Si santri diam sejenak. Dia berusaha menyusun kata-kata yang akan diucapkan berikutnya, laksana seorang pengarang sedang mencari ilham. Dia lalu berkata,
“Eeeee…Ustadz…?”
“Hemmm….Ada apa…?”
“Lebih enak jadi orang awam, ya Ustadz… Cukup tahu kayfiyyah (tata cara) shalat, ilmu fiqh untuk permasalahan sehari-hari dan bisa membaca Al-Qur’an dengan makhraj (tempat keluarnya huruf-huruf hija’iyah dari mulut atau tenggorokan) yang benar serta sesuai tajwid, sudah bagus sekali. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup, tidak perlu susah-susah begini…,” rajuk si santri.
“Mmm… Maksud sampean?”
“Yang penting kan, di akhirat nanti kita masuk surga, Ustadz… Yaaa…, cukup surga tingkat terendah sajalah… Bukankah kemewahan surga tingkat terendah minimal 10 kali seluruh kenikmatan dunia, Ustadz? Cukuplah, nggak perlu tinggi-tinggi banget!”
Sang ustadz pun tertawa mendengar imajinasi santri yang terlampau jauh, aneh pula.
“Ya… ya… ya…,” kata sang ustadz sambil manggut-manggut.
“Ya apanya, Ustadz?”
“Aku mengerti maksud sampean…”
“Nah, gitu dong, Ustadz…”
Sejenak suasana menjadi hening. Si santri merasa plong karena apa yang telah menyesakkan dadanya telah keluar dengan lancar. Sebaliknya, sang ustadz berpikir keras untuk bisa menasihati si santri, tapi dengan nasihat yang mudah dimengerti sekaligus tepat sasaran. Beberapa saat kemudian sang ustadz pun berkata,
“Memang aneh santri zaman sekarang.”
“Aneh kenapa, Ustadz?”
“Kalau dikasih uang, lalu disuruh memilih, mau uang seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, satu juta, sepuluh juta, seratus juta, satu milyar atau satu trilyun; malah memilih yang seribu. Kenapa tidak uang terbesar saja yang diambil…?” nasehat sang ustadz pada santrinya.
“Kalau diberi hadiah rumah, lalu diminta memilih, apa mau tipe 27, 36, 45, 60, 75, 90, 120, atau tipe 200; kok yang dipilih ternyata tipe RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali). Mengapa tidak menginginkan rumah mewah sekalian?” lanjut sang ustadz.
Santri itu termenung mendengar nasihat ustadz-nya yang begitu sederhana namun mengena. Cukup lama dia merenung.
“Saya ingin uang satu trilyun dan rumah tipe 200, Ustadz! Bahkan lebih besar lagi!” kata si santri setengah berteriak karena semangat.
“Bener, nih…?” canda sang ustadz.
“Ya, iya laaah,” jawab si santri sambil tertawa.
“Nah, gitu dong…,” kata sang ustadz sambil tersenyum.
Dari cerita di atas, apakah kita cukup dengan keinginan untuk masuk surga tingkat terendah, seperti keinginan awal santri tersebut? Jika ya, maka pertanyaan selanjutnya adalah,
“Apakah kita yakin bahwa kita akan masuk surga, walaupun itu level terbawah?”
“Siapa yang menjamin?”
“Siapa yang bisa mengetahui masa depan?”
“Apa kita bisa memastikan diri bahwa kita akan husnul khâtimah, meninggal tetap dalam iman dan Islam?”
Rasulullah saw. bersabda:
لاَ تَعْجَـبُوْا ِلعَمَلِ عَاِملٍ حَتَّى تَنْظُرُوْا ِبمَ يَخْتُمُ لَهُ
Jangan cepat tertarik pada amalan seseorang sebelum engkau melihat bagaimana akhirnya (meninggalnya). (HR Ahmad)
Ibnu Taimiyah berkata, “Yang menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir, bukan kekurangan pada awalnya.” Artinya adalah bahwa seorang mukmin kadang kala imannya tampak lemah. Kemudian dia berupaya untuk mendapatkan tambahan petunjuk, nur, amal shaleh, berteman dengan orang-orang shaleh, mencari pengetahuan agama, mencintai orang-orang baik, dan mencari manfaat dari para ulama, sehingga dengan demikian bertambahlah cahayanya. Sebaliknya, bila tidak dijaga, maka iman bisa berkurang. Iman memang mengalami pasang surut.
Daftar Pustaka:
- ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
bersambung INSYA'ALLOH
#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...#
sumber : http://achmadfaisol.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar