Ketika Nabi Musa masih bayi, ibunya mendapat perintah dari Allah untuk menghanyutkan ke dalam sungai Nil, seperti yang di Firmankan Allah dalam surat Al-Qashshas ayat 7:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari Para rasul.”
Kalau kita cermati secara logika manusia ada dua kalimat yang bertentangan dalam ayat di atas. Yang pertama kalimat ‘jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil)’, sedangkan kalimat kedua yaitu ‘ janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu’. Kalimat pertama memerintahkan agar ibu Musa menjatuhkan Musa yang masih bayi ke dalam sungai Nil yang luas dan dalam, padahal Musa masih seorang bayi. Ibu yang mana yang tega menjatuhkan bayi nya dalam sebuah sungai. Kalimat kedua menenangkan sang ibu agar jangan sedih dan khawatir karena Musa pasti akan kembali kepada nya. Secara manusiawi dua kalimat tadi sangat bertentangan.
Tapi Ibu Musa dengan keimanan yang sempurna melaksanakan perintah tadi. Tapi apakah sang ibu serta merta tanpa berpikir panjang langsung menjatuhkan bayi musa ke dalam sungai Nil? Tidak. Dengan kecerdasan yang luar biasa, sang Ibu melaksanakan hal-hal yang dapat mendukung penyelamatan bayi nya. Ibu Musa kemudian membuat semacam peti untuk tempat meletakkan Musa agar aman dari gangguan air sungai dan isinya. Kemudian ikut menyusuri pinggiran sungai, di ikuti ke mana arah sang bayi berjalan. Sampai akhirnya ditemukan oleh istri Fir’aun dan diangkat menjadi anak angkat Fir’aun. Akhirnya bertemu kembali sang ibu dengan anaknya saat ada sayembara untuk ibu-ibu yang bisa menyusui bayi Musa, tentunya hanya kepada ibu nya bayi Musa mau menyusu.
Di sinilah baru dapat dicerna dua kalimat di atas yang secara manusiawi bertentangan. Akhirnya dapat bersatu dan utuh. Iman yang sempurna ditunjukkan oleh Ibu Musa ketika mendapat perintah Allah sebagai wujud iman kepada Allah. Tapi keimanannya tidak kemudian dia pasrah dan tawakal saja, akan tetapi diikuti dengan tindakan atau amal nya yang mendukung pelaksanaan iman tadi. Begitulah gambaran iman yang sempurna.
Begitulah iman yang sesungguhnya, selalu berorientasi pada amal. Iman dan amal adalah seperti dua sisi mata uang, saling melengkapi. Jika salah satu sisi tidak ada maka uang tadi tidak akan mempunyai nilai. Demikian juga dengan iman dan amal. Iman yang tidak diikuti dengan amal maka imannya menjadi tidak sempurna, iman bohongan. Imannya tidak akan terarah dan teruji, karena melalui amal tadi lah iman akan teruji. Akhirnya ia akan seperti orang yang banyak bicara saja. Bicara macam-macam tapi dia sendiri tidak melakukan. Sedangkan amal yang tidak dilandasi iman maka amalnya bisa menjadi ngawur karena rambu-rambu nya tidak ada. Bisa jadi ketika ketemu lampu merah tapi akan tetap jalan, begitulah ketika rambu-rambu yang sudah dipatok dilanggar. Amal yang sesat.
Dalam kehidupan di masyarakat masih banyak ditemukan mereka yang memisahkan antara iman dan amal. Ulama mendefinisikan iman sebagai sesuatu yang digerakkan hati, diucapkan mulut, dan dilaksanakan anggota tubuh. Jadi dalam iman yang sempurna ada 3 unsur yang harus dipenuhi yaitu hati, ucapan dan perbuatan. Unsur ketiga ini lah yang sangat penting dalam merumuskan apakah iman sempurna atau tidak. Artinya kalau iman belum melahirkan sebuah amal maka iman tadi belum sempurna. Iman bukan hanya pasrah saja, mentang-mentang ini perintah Allah dilakukan saja tanpa perhitungan sedikit pun. Bukan seperti itu iman yang benar, tetapi keyakinan yang dibarengi dengan usaha yang sifatnya manusiawi seperti yang dilakukan ibu musa di atas.
Jadi ketika kita mengatakan saya beriman kepada Al-Qur’an kemudian tidak ada satu pun yang dilakukan bersama dengan Al-Qur’an maka imannya tidak sempurna. Tapi iman nya harus diwujudkan dengan amal nyata, seperti membacanya, menghafalnya, mentadabburinya, mempelajarinya serta melaksanakannya. Demikian baru imannya sempurna. Tapi kalau membaca Al-Qur’an saja tidak pernah, bagaimana bisa dikatakan seorang sudah beriman kepada Al-Qur’an?
Demikian juga dengan iman-iman yang lain, iman kepada Allah, kitab, Rasul dan lain sebagainya, harus disertai dengan amal yang nyata dalam kehidupannya.
Di sisi lain dikatakan bahwa iman kadang naik kadang turun, dan hanya dengan amal satu-satunya cara untuk menjaga kestabilan iman. Semakin banyak amal, semakin stabil iman, jadi berbanding lurus antara iman dengan amal. Begitulah perawatan iman yang benar yaitu dengan banyak beramal, bukan sebatas omongan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar