Minggu

meneladani Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam dalam ber Idul Fitri



Al-Ustadz Qomar ZA Lc.Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yg memaknai Idul Fitri sebagai hari yg menyenangkan krn tersedianya banyak makanan enak baju baru banyaknya hadiah dan lainnya. Ada lagi yg memaknai Idul Fitri sebagai saat yg paling tepat utk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh utk mengunjungi tempat-tempat wisata dan berbagai aktivitas lain yg bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yg mau utk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya agama ini membolehkan umatnya utk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.Sebagai bagian dari ritual agama prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yg datang menjumpai? Secara lahir kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yg memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yg sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yg dimaukan syariat.Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue baju-baju baru ramai diburu transportasi mulai padat krn banyak yg bepergian atau krn arus mudik mulai meningkat serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yg dia lihat dari para orang tua. Tak ayal bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yg dimaukan syariat.Demikian pula dgn Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini tentu berbagai aktivitas yg selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak tidak harus beli baju baru krn baju yg bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi tidak harus mudik krn bersilaturahim dgn para saudara yg sebenarnya bisa dilakukan kapan saja dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lbh mudah.Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.Definisi Id Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian krn tiap tahun terulang dgn kebahagiaan yg baru.” Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adl sebutan utk sesuatu yg selalu terulang berupa perkumpulan yg bersifat massal baik tahunan mingguan atau bulanan.” {dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan}Id dalam Islam adl Idul Fitri Idul Adha dan Hari Jum’at  

.عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي  الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ  

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari yg mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa dgn 2 hari itu?” Mereka menjawab “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya utk kalian dgn yg lebih baik dari keduanya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” {Shahih HR. Abu Dawud no. 1004 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani}Hukum Shalat IdIbnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah yang dianjurkan seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adl pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.Kedua: Bahwa itu adl fardhu kifayah sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat utk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi krn meninggalkannya. Ini yg tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.Ketiga: Wajib ‘ain seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at wajib baginya utk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” Yang terkuat dari pendapat yg ada –wallahu a’lam– adl pendapat ketiga dgn dalil berikut  

:عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami utk mengajak keluar pada Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis- gadis wanita yg haid dan wanita-wanita yg dipingit. Adapun yg haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” {Shahih HR. Al-Bukhari dan Muslim ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa}Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk pergi menuju tempat shalat sampai-sampai yg tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yg lain.Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah utk keluar berarti perintah utk shalat bagi yg tidak punya udzur… Karena keluarnya merupakan sarana utk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yg diberi sarana .Di antara dalil yg menunjukkan wajibnya Shalat Id adl bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yg tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” {Ar-Raudhatun Nadiyyah 1/380 dgn At-Ta’liqat Ar- Radhiyyah. Lihat pula lbh rinci dalam Majmu’ Fatawa 24/179-186 As-Sailul Jarrar 1/315 Tamamul Minnah hal. 344}Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yg intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yg mukim ?Beliau kemudian menjawab yg intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yg mengatakan disyaratkan mukim. Ada yg mengatakan tidak disyaratkan mukim.”Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan adl pendapat yg pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir krn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau serta beliau berperang lbh dari 20 peperangan namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id 

  عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى“  

Dari Malik dari Nafi’ ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla .” {Shahih HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm}Dalam atsar lain dari Zadzan seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu tentang mandi maka ‘Ali berkata: “Mandilah tiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab “Tidak mandi yg itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Hari Jum’at hari Arafah hari Idul Adha dan hari Idul Fitri.” }Memakai Wewangian 

  عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ  

  “Dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan utk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id demikian pula yg sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yg paling bagus yg dia dapati serta agar memakai wewangian.” {Syarhus Sunnah 4/303}Memakai Pakaian yg Bagus

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ   
 تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ  

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yg dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah belilah ini dan berhiaslah dgn pakaian ini utk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adl pakaian orang yg tidak akan dapat bagian ….” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah}Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias utk hari raya dan bahwa ini perkara yg biasa di antara mereka.” Makan Sebelum Berangkat Shalat Id  

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ  :   
  كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ   النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا   


 Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” {Shahih HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj}Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah utk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”Di antara hikmah dalam aturan syariat ini yg disebutkan oleh para ulama adalah:a. Menyelisihi Ahlul kitab yg tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.b. Untuk menampakkan perbedaan dgn Ramadhan.c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lbh siang sehingga makan sebelum shalat lbh menenangkan jiwa. Berbeda dgn Shalat Idul Adha yg sunnah adl segera dilaksanakan. Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat 

  كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ“ 

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” {Shahih Mursal Az-Zuhri diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dgn syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171}Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yg diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dgn keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah ini sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita . Hal itu krn lemahnya mental keagamaan mereka dan krn rasa malu utk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini amat baik utk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” Lafadz TakbirTentang hal ini tidak terdapat riwayat yg shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adl dari shahabat dan itu ada beberapa lafadz.Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu 

:أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ 

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq 

:  اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ  

Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yg lain dgn sanad yg sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi dan Yahya bin Sa’id dari Al- Hakam dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dgn tiga kali takbir.Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan 

:اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ  

Tempat Shalat IdBanyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adl beliau selalu melakukannya di mushalla.Mushalla yg dimaksud adl tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini 

.عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا 

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dgn wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adl dimulai dgn shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dgn itu berarti telah sesuai dgn sunnah…” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitab Al- ’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id}Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adl di Baqi’ namun bukan yg dimaksud adl Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yg dimaksud adl bahwa beliau shalat di tempat lapang yg bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dgn sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yg dikenal . Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/144}   

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ“ 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla yg pertama kali beliau lakukan adl shalat lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka.
Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan lalu beliau pergi.” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim}Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yg dimaksud dalam hadits adl tempat yg telah dikenal jarak antara tempat tersebut dgn masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi dekat dgn kuburan Baqi’…” {dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani hal. 16}Waktu Pelaksanaan Shalat 

 يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ“ 

Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” {Shahih HR. Al-Bukhari secara mua’llaq Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id 2/456 Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135 Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al- Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud}Yang dimaksud dgn kata “ketika tasbih” adl ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adl ketika telah berlalunya waktu yg dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yg shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. Namun sebenarnya ada yg berpendapat bahwa awal waktunya adl bila terbit matahari walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yg lalu adl pendapat Abu Hanifah Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. {lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/104}Namun yg kuat adl pendapat yg pertama krn menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” Apakah Waktu Idul Fitri lbh Didahulukan daripada Idul Adha?Ada dua pendapat:Pertama bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yg sama.Kedua disunnahkan utk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yg dikuatkan Ibnu Qayyim dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dgn semangatnya utk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” {Zadul Ma’ad 1/427 Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/105}Hikmahnya dgn melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yg disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dgn menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu utk menyembelih dan tidak memberatkan manusia utk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. Tanpa Adzan dan Iqamah

 عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ 

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya {yakni Idul Fitri dan Idul Adha} bukan hanya 1 atau 2 kali tanpa adzan dan tanpa iqamah.”  

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ  

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah tidak ada panggilan dan tidak ada apapun tidak pula iqamah.” Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”Al-Imam Malik berkata: “Itu adl sunnah yg tiada diperselisihkan menurut kami dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adl bid’ah.” {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/94}Bagaimana dgn panggilan yg lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.Kedua: mengqiyaskannya dgn Shalat Kusuf .Namun pendapat yg kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yg tentunya tergolong dha’if . Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah karena adanya nash yg shahih yg menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan utk Shalat Id adl bid’ah dgn lafadz apapun.” {Ta’liq terhadap Fathul Bari 2/452}Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah” dan Sunnah Nabi adl tidak dilakukan sesuatupun dari itu. {Zadul Ma’ad 1/427}Kaifiyah Shalat IdShalat Id dilakukan dua rakaat pada prinsipnya sama dgn shalat-shalat yg lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dgn ditambahnya takbir pada rakaat yg pertama 7 kali dan pada rakaat yg kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’ sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya 

: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ“  

Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah bertakbir para Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” {HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud 4/10 Ibnu Majah no. 1280 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.
1149}Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yg kedua dgn takbiratul intiqal {takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri}?Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:Pertama: Pendapat Al-Imam Malik Al-Imam Ahmad Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. {lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/178 Aunul Ma’bud 4/6 Istidzkar 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah}Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. {Al- Umm 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya}Nampaknya yg lbh kuat adl pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu krn ada riwayat yang mendukungnya yaitu  

:عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ“ 

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir 7 pada rakaat yg pertama dan 5 pada rakaat yg terakhir selain 2 takbir shalat.”Adapun lafadz Ad-Daruquthni:سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ“Selain takbiratul ihram.” {HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah Ad-Daruquthni 2/47-48 no. 20}Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yg diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. {lihat At-Talkhis 2/84 tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani At-Ta’liqul Mughni 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain hal. 158}Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut semua surat yg ada boleh dan sah utk dibaca.
Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yg pertama “Sabbihisma” dan pada rakaat yg kedua “Hal ataaka” . Pernah pula pada rakaat yg pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah . Lihat juga Al- Irwa‘ .Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg shahih dalam hal ini.Kapan Membaca Doa Istiftah?Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. Khutbah IdDahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah 

.عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ“ 

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah Abu Bakr ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” {Shahih HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id}Dalam berkhutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar mengingatkan mereka utk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus utk banyak melakukan shadaqah krn ternyata kebanyakan penduduk neraka adl kaum wanita.Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

:عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِ   لْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ  

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id maka ketika beliau selesai shalat beliau berkata: “Kami berkhutbah barangsiapa yg ingin duduk utk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yg ingin pergi maka silahkan.” {Shahih HR.
Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1155}Namun alangkah baiknya utk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat utk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dgn agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yg tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan.
Wallahu a’lam.Wanita yg HaidWanita yg sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id walaupun tidak boleh melakukan shalat bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan utk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yg lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.Sutrah Bagi ImamSutrah adl benda bisa berupa tembok tiang tongkat atau yg lain yg diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya panjangnya kurang lbh 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk melewati orang yg shalat. Dengan sutrah ini seseorang boleh melewati orang yg shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yg shalat dgn sutrah. Sutrah ini disyariatkan utk imam dan orang yg shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yg mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya marilah kita menghidupkan sunnah ini termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَر
 أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ“

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id beliau memerintahkan utk membawa tombak kecil lalu ditancapkan di depannya lalu beliau shalat ke hadapannya sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al- Fath 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/136}Bila Masbuq Shalat Id Apa yg Dilakukan?Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat demikian pula wanita dan orang-orang yg di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adl Id kita pemeluk Islam’.”Adalah ‘Atha` bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.Bagaimana dgn takbirnya? Menurut Al-Hasan An-Nakha’i Malik Al-Laits Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat shalat dgn takbir seperti takbir imam. {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/169}Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir ia berkata:” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Id beliau mengambil jalan yang berbeda. {Shahih HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a… Fathul Bari karya Ibnu Hajar 2/472986 karya Ibnu Rajab 6/163 no. 986}Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yg lainnya. Dan itu adl pendapat Al-Imam Malik Ats-Tsauri Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu maka tidak dimakruhkan.”Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya di antaranya agar lbh banyak bertemu sesama muslimin utk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad 1/433}Bila Id Bertepatan dgn Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yg beliau lakukan?” Ia menjawab “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yg ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَDari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id maka barangsiapa yg berkehendak telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” {Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073}Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yg ke-3 dan itulah yg benar bahwa yg ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at supaya orang yg ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yg tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yg diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” {Majmu’ Fatawa 23/211}Lalu beliau mengatakan juga bahwa yg tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.Ada sebagian ulama yg berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yg lemah dan dibantah oleh para ulama. Ucapan Selamat Saat Hari RayaIbnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dgn sanad yg hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yg lain:تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kamu.” {Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61 Majmu’ Fatawa 24/253 Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/167-168}Wallahu a’lam.1 ‘Id artinya kembali.2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=373
sumber : file chm Darus Salaf 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

" resent post "