Tampilkan postingan dengan label LEBARAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LEBARAN. Tampilkan semua postingan

Kamis

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal [ Puasa Seperti Setahun Penuh ]



Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)

Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda,  

“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).

Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)

Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Wallohu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id
______________
Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-enam-hari-di-bulan-syawal.html


Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …
“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

5 Syawal 1428 H (Bertepatan dengan 17 September 2007)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id
_________________________________
Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-syawal-puasa-seperti-setahun-penuh.html

Selasa

meraih syurga dengan silaturrokhiim



Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam  bersabda,

“Ada seorang laki-laki bersilaturahim ke saudaranya yang tinggal di desa lain, maka Allah mengutus seorang malaikat untuk menemuinya. Tatkala bertemu dengan lelaki tersebut maka malaikat bertanya, “Hendak kemanakah saudara?” Lelaki tersebut menjawab, “Saya ingin bersilaturahim ke saudaraku di desa ini.” Malaikat kembali bertanya, “Apakah kamu menziarahinya karena ada sesuatu kenikmatan yang akan engkau raih?“ Lelaki tersebut menjawab, “Tidak, saya melakukan silaturahim ini semata-mata kecintaan saya terhadapnya karena Allah.” Malaikat kemudian berkata, “ Sesungguhnya saya diutus Allah untuk menemui kamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena-Nya.”

(HR. Muslim).


Sahabat, kehidupan ini merupakan aktivitas sosial yang harus dilakoni oleh setiap manusia karena ia merupakan makhluk sosial yang sangat bergantung terhadap sesama. Kehidupan ini akan sukses bilamana antar individu saling menghormati, menghargai, harmonis, dan bersaudara.

  • Sebaliknya, ia akan gagal bilamana antar individu saling cekcok, buruk sangka, dan egois. Di sinilah perlu adanya perekat jika timbul ketidakharmonisan atau terjadi percekcokan dalam hubungan antara sesama manusia.

Maka, harus dilakukan suatu usaha untuk menentramkan kembali ikatan persaudaraan dengan melakukan silaturahim. Sekilas, silaturahmi merupakan hal yang sepele namun bila kita mau mengkaji dan mentadaburi ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta'ala  dan sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam maka kita dapatkan keutamaan dan keistimewaan yang membangkitkan semangat salafunas-shaleh (generasi sebelum kita) untuk berlomba-lomba menerapkannya.

  • Dalam salah satu perintah-Nya, Allah SWT berfirman, “Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (QS. An-Nisaa'[4]:1).


  • Dan pada ayat lainnya Allah menguatkan, “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Ar-Ra'd [13]:21).


Bahkan Rasulullah SAW menandaskan bahwa hanya orang-orang yang beriman kepada Allah SWT  dan hari akherat yang paling gigih menerapkannya. Dari Abu Hurairah ra sesungguhnya Rasulullah SAW  bersabda “… barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akherat maka lakukanlah silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalil di atas merupakan landasan syar’i akan perlunya silaturahim antar anggota masyarakat bahkan perintah yang semestinya kita terapkan. Dan bila kita kembali mengkaji dan mentadaburi pedoman hidup kita (Al Qur`an dan As Sunah), maka Allah dan Rasul-Nya tidak semata memerintahkan umatnya untuk menerapkan perintahnya tanpa memberi tahu keutamaan pelaksanaannya dan ancaman meninggalkan atau memutus hubungan silaturahmi.





Keutamaan silaturahmi

Diantara keutamaan yang akan diraih oleh orang yang selalu melakukan silahturahmi :

1. Akan diluaskan rizkinya. Rasulullah SAW  bersabda, “ Barang siapa yang suka diluaskan rizki dan  dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”  (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

2. Akan diperpanjang umurnya.

3. Akan selalu berhubungan dengan Allah SWT. Dari ‘Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda,

"Silaturahmi itu tergantung di `Arsy (Singgasana Allah) seraya berkata: "Barangsiapa yang  menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan dengannya, dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya" (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Akan dimasukan kedalam golongan yang beriman kepada Allah dan hari akherat. Dari Abu Hurairah ra sesunguhnya Rosulullah saw bersabda, Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akherat maka lakukanlah silaturahmi (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan ancaman dan akibat yang akan didapat oleh orang yang memutus hubungan silaturahmi sbb :

1. Akan terputus hubungannya dengan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda,

"...dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan denganNya"
(HR. Bukhari, dan Muslim).

2. Tidak termasuk golongan yang beriman kepada Allah swt dan hari akherat.

3. Akan sempit rizkinya.

4. Akan pendek umurnya.

5. Akan dilaknat oleh Allah dan dimasukan kedalam neraka jahanam. (QS.13:25 & 47:22,23)

6. Tidak masuk surga. Dari Abu Muhammad Jubair bin Mut’im ra sesungguhnya Rosulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Itulah beberapa keutamaan bagi orang yang melakukan silaturahmi dan ancaman bagi orang yang meninggalkannya.

Etika silaturahmi

Dalam melakukan silaturahmi kitapun harus memperhatikan beberapa etika silaturahmi sehingga membuahkan faidah yang baik bagi kedua belah pihak dan tidak mendzolimi teman yang kita ziarahi. Diantara etika tersebut :

1. Silaturahmi yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT bukan karena dunia atau tujuan lainnya. Mungkin kisah diatas merupakan gambaran nyata sebagai barometer suri teladan.

2. Membawa hadiah untuk saudara yang akan diziarahi. Rasulullah SAW bersabada, Saling berbagi hadiahlah diantara kalian maka kalian akan saling mencintai.

3. Memperhatikan waktu silaturahmi. bila kita ingin bersilaturahmi maka kita harus memperhatian objek yang kita akan diziarahi, karena antar individu berbeda dalam jadwal kerja dan aktivitas. Mungkin di antara mereka ada yang bisa menerima tamu pada waktu asar namun diantara mereka tidak bias menerimanya.

4. Dan hal yang sangat penting adalah masa ziarah yang kadang kita kebablasan sedangkan tuan rumah memiliki aktivitas lain yang harus dikerjakan dan malu untuk mengungkapkannya karena takut akan menimbulkan persepsi negatif penziarah terhadap dirinya.

Inilah beberapa hal tentang silaturahmi, semoga hal ini bisa memacu kita untuk berlomba-lomba dalam menerapkannya, Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

"pengertian minal AIDIN WAL FAIZIN



باب مَا رُوِىَ فِى قَوْلِ النَّاسِ يَوْمَ الْعِيدِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ بْنُ عَبْدَانَ أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا أَبُو عَلِىٍّ : أَحْمَدُ بْنُ الْفَرَجِ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الشَّامِىُّ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ قَالَ : لَقِيتُ وَاثِلَةَ بْنَ الأَسْقَعِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةُ : لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عِيدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ :« نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ » .رواه البيهقي كتاب العيدين ج ٣ ص ٢١٩

..Dari Kholid bin ma’dan berkata: “Aku bertemu dengan Watsilah bin asqo’ di dalam hari raya maka aku berkata : “Taqobbalallohu minna waminka”, maka dia menjawab : Na’am taqobbalallohu minna waminka”. Watsilah berkata : “Aku bertemu dengan Rosulloh SAW pada hari raya maka aku berkata : “Taqobbalallohu minna waminka”, maka Nabi menjawab : “Na’am, Taqobbalallohu minna waminka”. ( HR. Baihaqi )


Rasulullah biasa mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum kepada para
sahabat, yang artinya semoga Allah menerima aku dan kalian. Maksudnya menerima
di sini adalah menerima segala amal dan ibadah kita di bulan Ramadhan.

Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya
puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari
para sahabat.

Kemudian, untuk ucapan minal 'aidin wal faizin itu sendiri tidak pernah
dicontohkan, sepertinya itu budaya orang Indonesia. Yang sering salah kaprah
adalah ucapan tersebut biasanya diikuti dengan "mohon maaf lahir dan batin".
Jadi seolah-olah minal 'aidin wal faizin itu artinya mohon maaf lahir dan
batin. Padahal arti sesungguhnya bukan itu. Minal 'aidin artinya dari golongan
yang kembali. Dan wal faizin artinya dari golongan yang menang. Jadi makna
ucapan itu adalah semoga kita termasuk golongan yang kembali (maksudnya kembali
pada fitrah) dan semoga kita termasuk golongan yang meraih kemenangan.

Manakah diantara kalimat-kalimat di bawah ini yang benar?

A.Minal 'aidin wal faizin, mohon maaf lahir-bathin
B.Mohon maaf lahir-bathin, minal 'aidin wal faizin
C.Semoga kita dimaafkan minal 'aidin wal faizin
D.Semoga kita minal 'aidin wal faizin
E.Semua benar

Kalau kita tadi menyoal tentang asal kata Ied (masdar atau kata dasar dari
'aada=kembali) , sekarang kita mencoba untuk membongkar asal kata 'Aidin dan
Faizin. Darimana sih mereka?
'Aidin itu isim fa'il (pelaku) dari 'aada. Kalau anda memukul (kata kerja),
pasti ada proses "pemukulan" (masdar), juga ada "yang memukul" (anda
pelakunya). Kalau kamu "pulang" (kata kerja), berarti kamu "yang pulang"
(pelaku). Pelaku dari kata kerja inilah yang dalam bahasa Arab disebut
d engan isim fa'il.

Kalau si Aidin, darimana? 'Aidin atau 'Aidun itu bentuk jamak (plural) dari
'aid, yang artinya "yang kembali" (isim fa'il. Baca lagi teori di atas).
Mungkin maksudnya adalah "kembali kepada fitrah" ("kembali berbuka", pen)
setelah berjuang dan mujahadah selama sebulan penuh menjalankan puasa.

'aada = ia telah kembali (fi'il madhi).
Ya'uudu = ia tengah kembali (fi'il mudhori)
'audat = kembali (kata dasar)
'ud = kembali kau! (fi'il amr/kata perintah)
'aid = ia yang kembali (isim fa'il).

Kalau si Faizin?
Si Faizin juga sama. Dia isim fa'il dari faaza (past tense) yang artinya
"sang pemenang". Urutannya seperti ini:
Faaza = ia [telah] menang (past tense)
Yafuuzu = ia [sedang] menang (present tense)
Fauzan = menang (kata dasar).
Fuz = menanglah (fi'il amr/kata perintah)
Fa'iz = yang menang.
'Aid (yang kembali) dan Fa'iz (yang menang) bisa dijamakkan menjadi 'Aidun
dan Fa'izun. Karena didah ului "Min" huruf jar, maka Aidun dan Faizun
menyelaraskan diri menjadi "Aidin" dan "Faizin". Sehingga lengkapnya "Min
Al 'Aidin wa Al Faizin". Biar lebih mudah membacanya, kita biasa menulis
dengan "Minal Aidin wal Faizin".
Lalu mengapa harus diawali dengan "min"?
"Min" artinya "dari". Sebagaimana kita ketahui, kata "min" (dari) biasa
digunakan untuk menunjukkan kata keterangan waktu dan tempat. Misalnya
'dari' zuhur hingga ashar. Atau 'dari' Cengkareng sampe Cimone.

Selain berarti "dari", Min juga mengandung arti lain. Syekh Ibnu Malik dari
Spanyol, dalam syairnya menjelaskan:
Ba'id wa bayyin wabtadi fil amkinah
Bi MIN wa qad ta'ti li bad'il azminah
Maknailah dengan "sebagian", kata penjelas dan permulaan tempat-
-Dengan MIN. Kadang ia untuk menunjukkan permulaan waktu.
Dari keterangan Ibnu Malik ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa MIN
pada MIN-al aidin wal faizin tadi menunjukkan kata "sebagian"
(lit-tab'idh ) . Jadi secara harfiyah, minal 'aidin wal-faizin artinya:
BAGIAN DARI ORANG-ORANG YANG KEMBALI DAN ORANG-ORANG YANG MENANG.

Kesimpulannya?
Yang jelas Minal Aidin tidak ada hubungannya dengan Mohon maaf lahir dan
bathin. Menggunakan kalimat a, boleh. Memakai kalimat b, silakan saja. Tapi
sekali lagi, mohon maaf lahir bathin itu bukan arti minal aidin. Asal
jangan memilih c, karena minal aidin tidak pernah bisa memaafkan orang.
Tapi pilihan saya adalah d, ini yang paling shahih.
Akhirnya, semoga kita minal 'aidin wal faizin. Amin!


------------ --------- --------- --------- --------- --------- -


Sampai di sini, ternyata ucapan tsb (Minal Aidin Wal Faidzin) tidak pernah
ada dasar dan tuntunannya.
Silakan simak penjelasan berikut ini

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/446 mengatakan: "Kami meriwayatkan
dari guru-guru
kami dalam "Al-Mahamiliyy at" dengan sanad hasan dari Jubair bin Nufair,
beliau berkata :
"Para sahabat Rasulullah apabila mereka saling jumpa pada hari raya,
sebagian mereka mengucapkan pada lainnya: "Semoga Allah menerima amalanku
dan amalanmu".

Ibnu Qudamah juga menyebutkan dalam Al-Mughni 2/259 bahwasanya Muhammad bin
Ziyad mengatakan :
"Saya pernah bersama Abu Umamah Al-Bahili dan para sahabat Nabi lainnya,
maka apabila mereka kembali
dari ied, sebagian mereka berucap pada lainnya : "Semoga Allah menerima
amalanku dan amalanmu"
(Imam) Ahmad berkata : "Sanad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)". Imam
Suyuthi juga berkata dalam
Al-Hawi (1/81): "Sanadnya hasan".
Adapun ucapan: "Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin",
"halal bi halal" atau "kosong-kosong" serta ungkapan-ungkapan lainnya, maka
sebaiknya dihilangkan dan kita ganti serta membiasakan diri dengan lafadz
syar'i yaitu (Taqobballahu Minna Wa Minka)
sehingga kita tidak terj atuh dalam ayat :
"Apa kamu mau mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ?"
(QS Al Baqoroh: 61)

--------------------------
------------------------------------------------------------------

Akan tetapi ada hal yang janggal menurut saya tapi mungkin menjadi sesuatu yang lumlah bagi masyarakat jamak. Yakni pemaknaan dan Penulisan “Minal ‘Aidin wal Faizin” yang tidak dimengerti maksud ataupun tujuan pengucapan kata-kata itu.

Kesalahan Penulisan
Pertama, kesalahan penulisan pada kata “Minal ‘Aidin wal Faizin” yang kadang ditulis seperti beberapa contoh dibawah ini,

1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar
2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasar ejaan indonesia
3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad arab
4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”
5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”

Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena kesalahan penulisan abjad juga berarti makna yang salah. Seperti dalam bahasa inggris, antara Look dan Lock beda makna padahal cuman salah satu huruf bukan?

Kesalahan Pemahaman Makna
Kedua, kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” acapkali didengar atau ditulis di media massa, di film, sinetron, acara halal-bihalal, atau ketika kita bertemu teman atau sudara. Akan tetapi banyak yang menyangka bahwa arti kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Mohon Maaf Lahir Dan Batin” seperti yang sering kita dengar. Padahal sama sekali bukan.

Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni : “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”. Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”.

Demikian sedikit penjelasan semoga berguna bagi kita semua. Mari kita membiasakan kebenaran bukannya membenarkan kebiasaan.. :-)
IDUL FITRI

Idul Fitri (Bahasa Arab: عيد الفطر ‘Īdu l-Fiṭr) adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi, sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda. Pada tanggal 1 Syawal, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan menyelenggarakan Shalat Ied bersama-sama di masjid-masjid, di tanah lapang, atau bahkan jalan raya (terutama di kota besar) apabila area sebelumnya tidak cukup menampung jamaah. Begitu pula saat tiba Idul Adha.

Idul Fitri menandai berakhirnya puasa pada bulan Ramadhan.Shalat Idul Fitri biasanya dilakukan di lapangan. Adapun hukum dari Shalat Idul Fitri ini adalah sunnah mu'akkad. Sebelum shalat, kaum muslimin mengumandangkan takbir. Adapun takbir adalah sebagai berikut:

‘’Allahu akbar. Allahu akbar, Allahu akbar, La ilaha illa Allahu Allahu akbar, Allahu akbar wa li-illahi al-hamd’’

Diantara sekian banyak ungkapan atau ucapan selamat (arab: tahni’ah) dalam suasana hari ‘Ied Al-Fithr, nyaris semuanya tidak ada riwayatnya yang berasal dari Rasulullah SAW. Kecuali lafadz taqabbalallahu minaa wa minka, yang maknanya, "Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda." Maksudnya menerima di sini adalah menerima segala amal dan ibadah kita di bulan Ramadhan.

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[Fathul Bari 2/446] : "Dalam "Al Mahamiliyat" dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya) : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".

Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka.

Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

.

Kemudian, untuk ucapan minal ‘aidin wal faizin itu sendiri adalah salah satu ungkapan yang seringkali diucapkan pada hari raya fithri. Sama sekali tidak bersumber dari sunnah nabi, melainkan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang ada di suatu masyarakat.

Sering kali kita salah kaprah mengartikan ucapan tersebut, karena biasanya diikuti dengan "mohon maaf lahir dan batin". Jadi seolah-olah minal ‘aidin wal faizin itu artinya mohon maaf lahir dan batin. Padahal arti sesungguhnya bukan itu.
Kata minal aidin wal faizin itu sebenarnya sebuah ungkapan harapan atau doa. Tapi masih ada penggalan yang terlewat. Seharusnya lafadz lengkapnya adalah
ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin,
artinya semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang).
Makna yang terkandung di dalamnya sebuah harapan agar Ramadhan yang telah kita jalani benar-benar bernilai iman dan ihtisab, sehingga kita saling mendoakan agar dikembalikan kepada kesucian, dalam arti bersih dari dosa-dosa.
Makna Kembali (aidin) adalah kembali seperti awal mula kita dilahirkan oleh ibu kita masing-masing, putih, bersih tanpa dosa.
Sedangkan makna faizin adalah menjadi orang yang menang atau beruntung. Menang karena berhasil
mengalahkan hawa nafsu, sedangkan beruntung karena mendapatkan pahala yang berkali lipat dan dimusnahkan semua dosa.

Di setiap negeri muslim, ungkapan-ungkapan ini bisa saja sangat berbeda, tergantung kreatifitas masyarakatnya sendiri. Namun bila tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, bukan berarti memberikan ucapan yang semikian menjadi terlarang atau haram. Sebab umumnya para ulama mengatakan bahwa masalah ini tidak termasuk perkara ritual ubudiyah, sehingga tidak ada larangan untuk mengungkapkan perasaan dengan gaya bahasa kita masing-masing.
Tapi bukankah lebih baik jika kita mencontoh Rasulullah SAW…..

Wallahu a’lam bish-shawab

makna silaturrokhiim



Bismillahirrahmaanirrahiim

Lebih tepat Silaturahim bukan silaturahmi sebagaimana disebutkan didalam nash-nash hadits tentangnya, diantaranya :

عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ - رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ . فَقَالَ الْقَوْمُ مَالَهُ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَرَبٌ مَالَهُ » . فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ ، ذَرْهَا » . قَالَ كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ .

Dari Abu Ayyub Al Anshari bahwa seorang laki-laki berkata; "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga." Orang-orang pun berkata; "Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini." Maka Rasulullah bersabda: "Biarkanlah urusan orang ini." Lalu Nabi melanjutkan sabdanya: "Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan shalat, dan membayar zakat serta menjalin tali silaturrahim." Abu Ayyub berkata; "Ketika itu beliau berada di atas kendaraannya." (HR. Bukhari)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِى الأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِى الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. وَمَعْنَى قَوْلِهِ « مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». يَعْنِى زِيَادَةً فِى الْعُمُرِ.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda: "Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahim karena silaturrahim itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur." Abu Isa berkata: Ini merupakan hadits gharib melalui jalur ini

Berkaitan dengan hal ini, para ulama hadits memberikan judul pada salah satu babnya didalam kitab-kitab haditsnya dengan silaturahim, seperti : Imam Bukhori didalam Shahihnya memberikan judul “Bab Silaturahim”, Muslim didalam Shahihnya dengan judul “Bab Silaturhim wa Tahrimi Qothiatiha”, Abu Daud didalam Sunannya dengan “Bab Silaturahim” dan Tirmidzi didalam Sunannya dengan “Bab Maa Ja’a Fii Silaturahim”

***

Silaturahim termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia.

وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya: “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).

Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam ,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”

***


KEUTAMAAN

(1) Silaturahim  merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahim.” (Mutafaqun ‘alaihi).


(2) Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala

خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ
“Allah menciptakan makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).


(3) Silaturakhiim adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka.

Artinya: “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau menjawab,“Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahim.”” (Diriwayatkan oleh Jama’ah).

ALLAHu'alam

***

Sumber :

Senin

TAQOBALALLOHU MINNA WA MINKUM



Bissmillahirrokhmaanirrokhiim


Allohu Akbar Allohu Akbar Allohu Akbar
Laa Ila Ha Illalloh Allohu Akbar
Allohu Akbar Wa Lillaahilkhamd


Assalamu’alaykum warohmatullohi wabarokatuh

Sahabat- sahabat ku yang di rahmati Alloh subhanahu wata’ala , Alkhamdulillahirobbil’alaamiin , puji syukur kehadirat Alloh subhanahu wata’ala atas segala Rahmat & Karunia-NYA dengan keberkahan ramadhan yang telah kita nikmati  & lewati bersama semoga amal ibadah kita di terima Alloh subhanahu wata’ala.Allohuma aamiin. dan semoga  kita termasuk ke dalam golongan hamba-NYA yang mencapai kemenangan bersama sejuknya fajar di hari nan indah dan fitri ini,….Insya’alloh ,Allohuma aamiin, dalam kesempatan yang sangat berbahagia ini bening ingin sekali mengucapkan

TAQOBBALALLOHU MINNA  WA  MINKUM  WA KULLU ‘AAMIIN WA ANTUM BIKHAIRIN
Wa ja’alana minal Aidhin wal Faizin
mohon ma’af lahir dan batin

Selamat hari Raya Idul Fitri

1 Syawal 1432 H


DIANTARA  SEGALA  KATA  PASTI ADA KHILAF
DIANTARA  SEGALA  CANDA  MUNGKIN  TERSISIP  SILAP
DAN  DIANTARA  SEGALA  SIKAP  MUNGKIN ADA SALAH YANG MELEKAT,  DAN  SILATUROHMI  YANG TAK SELALU HANGAT TERSAMBUT , SAPA YANG KADANG TAK TERBALAS DAN SALAM YANG ACAP KALI TAK TERJAWAB
SEMOGA ALLOH MENERIMA AMAL IBADAH KITA , SEMOGA ALLAH MENJADIKAN KITA SEBAGAI INSAN YANG FITRI DAN MERAIH KEMENANGAN , SEMOGA KITA DAPAT MENGAMALKAN AMALAN-AMALAN  IBADAH DI BULAN PUASA KEMARIN & MENGAPLIKASIKAN DI BULAN- BULAN BERIKUTNYA ,SEMOGA KITA AKAN BERTEMU KEMBALI DENGAN BULAN SUCI RAMADHAN YANG PENUH BERKAH DI TAHUN YANG AKAN DATANG. INSYA’ALLOH

Lidah memang tidak bertulang
namun bibir kadang salah berucap
ada khilaf, ada dusta…
Langkahpun kadang memang tidak seiring sejalan…
selalu saja ada tikungan2 jalan yang menggoda…
hingga lagi-lagi khilaf tercipta…
Bukupun awalnya putih bersih
kitapun manusia lahir tanpa dosa..begitu sucinya..
Maka dari itu..marilah kita buka hati…
saling memaafkan kata, sikap, perilaku, tindakan…
yang pernah tertoreh di hati, di benak…dijiwa..diraga…dan semua yang tidak berkenan di hati sahabat, saudara semua

HINGGA KITA SEMUA KEMBALI KE FITRAH-NYA
SEMOGA RAHMAT & HIDAYAH ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA SELALU MENYERTAI KITA SEMUA.

AAMIIN YA ROBBAL ‘ALAAMIIN


Alkhamdulillahirobbil’alamiin
Wabilahitaufiq wal hidayah
Wasalamu’alaykum warohmatullohi wabarokatu







Minggu

meneladani Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam dalam ber Idul Fitri



Al-Ustadz Qomar ZA Lc.Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yg memaknai Idul Fitri sebagai hari yg menyenangkan krn tersedianya banyak makanan enak baju baru banyaknya hadiah dan lainnya. Ada lagi yg memaknai Idul Fitri sebagai saat yg paling tepat utk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh utk mengunjungi tempat-tempat wisata dan berbagai aktivitas lain yg bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yg mau utk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya agama ini membolehkan umatnya utk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.Sebagai bagian dari ritual agama prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yg datang menjumpai? Secara lahir kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yg memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yg sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yg dimaukan syariat.Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue baju-baju baru ramai diburu transportasi mulai padat krn banyak yg bepergian atau krn arus mudik mulai meningkat serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yg dia lihat dari para orang tua. Tak ayal bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yg dimaukan syariat.Demikian pula dgn Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini tentu berbagai aktivitas yg selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak tidak harus beli baju baru krn baju yg bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi tidak harus mudik krn bersilaturahim dgn para saudara yg sebenarnya bisa dilakukan kapan saja dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lbh mudah.Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.Definisi Id Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian krn tiap tahun terulang dgn kebahagiaan yg baru.” Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adl sebutan utk sesuatu yg selalu terulang berupa perkumpulan yg bersifat massal baik tahunan mingguan atau bulanan.” {dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan}Id dalam Islam adl Idul Fitri Idul Adha dan Hari Jum’at  

.عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي  الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ  

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari yg mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa dgn 2 hari itu?” Mereka menjawab “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya utk kalian dgn yg lebih baik dari keduanya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” {Shahih HR. Abu Dawud no. 1004 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani}Hukum Shalat IdIbnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah yang dianjurkan seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adl pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.Kedua: Bahwa itu adl fardhu kifayah sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat utk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi krn meninggalkannya. Ini yg tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.Ketiga: Wajib ‘ain seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at wajib baginya utk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” Yang terkuat dari pendapat yg ada –wallahu a’lam– adl pendapat ketiga dgn dalil berikut  

:عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami utk mengajak keluar pada Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis- gadis wanita yg haid dan wanita-wanita yg dipingit. Adapun yg haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” {Shahih HR. Al-Bukhari dan Muslim ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa}Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk pergi menuju tempat shalat sampai-sampai yg tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yg lain.Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah utk keluar berarti perintah utk shalat bagi yg tidak punya udzur… Karena keluarnya merupakan sarana utk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yg diberi sarana .Di antara dalil yg menunjukkan wajibnya Shalat Id adl bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yg tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” {Ar-Raudhatun Nadiyyah 1/380 dgn At-Ta’liqat Ar- Radhiyyah. Lihat pula lbh rinci dalam Majmu’ Fatawa 24/179-186 As-Sailul Jarrar 1/315 Tamamul Minnah hal. 344}Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yg intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yg mukim ?Beliau kemudian menjawab yg intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yg mengatakan disyaratkan mukim. Ada yg mengatakan tidak disyaratkan mukim.”Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan adl pendapat yg pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir krn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau serta beliau berperang lbh dari 20 peperangan namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id 

  عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى“  

Dari Malik dari Nafi’ ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla .” {Shahih HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm}Dalam atsar lain dari Zadzan seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu tentang mandi maka ‘Ali berkata: “Mandilah tiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab “Tidak mandi yg itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Hari Jum’at hari Arafah hari Idul Adha dan hari Idul Fitri.” }Memakai Wewangian 

  عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ  

  “Dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan utk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id demikian pula yg sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yg paling bagus yg dia dapati serta agar memakai wewangian.” {Syarhus Sunnah 4/303}Memakai Pakaian yg Bagus

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ   
 تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ  

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yg dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah belilah ini dan berhiaslah dgn pakaian ini utk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adl pakaian orang yg tidak akan dapat bagian ….” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah}Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias utk hari raya dan bahwa ini perkara yg biasa di antara mereka.” Makan Sebelum Berangkat Shalat Id  

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ  :   
  كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ   النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا   


 Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” {Shahih HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj}Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah utk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”Di antara hikmah dalam aturan syariat ini yg disebutkan oleh para ulama adalah:a. Menyelisihi Ahlul kitab yg tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.b. Untuk menampakkan perbedaan dgn Ramadhan.c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lbh siang sehingga makan sebelum shalat lbh menenangkan jiwa. Berbeda dgn Shalat Idul Adha yg sunnah adl segera dilaksanakan. Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat 

  كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ“ 

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” {Shahih Mursal Az-Zuhri diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dgn syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171}Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yg diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dgn keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah ini sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita . Hal itu krn lemahnya mental keagamaan mereka dan krn rasa malu utk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini amat baik utk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” Lafadz TakbirTentang hal ini tidak terdapat riwayat yg shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adl dari shahabat dan itu ada beberapa lafadz.Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu 

:أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ 

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq 

:  اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ  

Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yg lain dgn sanad yg sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi dan Yahya bin Sa’id dari Al- Hakam dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dgn tiga kali takbir.Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan 

:اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ  

Tempat Shalat IdBanyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adl beliau selalu melakukannya di mushalla.Mushalla yg dimaksud adl tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini 

.عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا 

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dgn wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adl dimulai dgn shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dgn itu berarti telah sesuai dgn sunnah…” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitab Al- ’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id}Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adl di Baqi’ namun bukan yg dimaksud adl Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yg dimaksud adl bahwa beliau shalat di tempat lapang yg bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dgn sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yg dikenal . Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/144}   

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ“ 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla yg pertama kali beliau lakukan adl shalat lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka.
Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan lalu beliau pergi.” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim}Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yg dimaksud dalam hadits adl tempat yg telah dikenal jarak antara tempat tersebut dgn masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi dekat dgn kuburan Baqi’…” {dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani hal. 16}Waktu Pelaksanaan Shalat 

 يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ“ 

Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” {Shahih HR. Al-Bukhari secara mua’llaq Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id 2/456 Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135 Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al- Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud}Yang dimaksud dgn kata “ketika tasbih” adl ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adl ketika telah berlalunya waktu yg dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yg shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. Namun sebenarnya ada yg berpendapat bahwa awal waktunya adl bila terbit matahari walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yg lalu adl pendapat Abu Hanifah Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. {lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/104}Namun yg kuat adl pendapat yg pertama krn menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” Apakah Waktu Idul Fitri lbh Didahulukan daripada Idul Adha?Ada dua pendapat:Pertama bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yg sama.Kedua disunnahkan utk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yg dikuatkan Ibnu Qayyim dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dgn semangatnya utk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” {Zadul Ma’ad 1/427 Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/105}Hikmahnya dgn melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yg disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dgn menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu utk menyembelih dan tidak memberatkan manusia utk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. Tanpa Adzan dan Iqamah

 عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ 

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya {yakni Idul Fitri dan Idul Adha} bukan hanya 1 atau 2 kali tanpa adzan dan tanpa iqamah.”  

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ  

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah tidak ada panggilan dan tidak ada apapun tidak pula iqamah.” Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”Al-Imam Malik berkata: “Itu adl sunnah yg tiada diperselisihkan menurut kami dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adl bid’ah.” {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/94}Bagaimana dgn panggilan yg lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.Kedua: mengqiyaskannya dgn Shalat Kusuf .Namun pendapat yg kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yg tentunya tergolong dha’if . Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah karena adanya nash yg shahih yg menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan utk Shalat Id adl bid’ah dgn lafadz apapun.” {Ta’liq terhadap Fathul Bari 2/452}Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah” dan Sunnah Nabi adl tidak dilakukan sesuatupun dari itu. {Zadul Ma’ad 1/427}Kaifiyah Shalat IdShalat Id dilakukan dua rakaat pada prinsipnya sama dgn shalat-shalat yg lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dgn ditambahnya takbir pada rakaat yg pertama 7 kali dan pada rakaat yg kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’ sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya 

: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ“  

Dari Aisyah ia berkata: Rasulullah bertakbir para Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” {HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud 4/10 Ibnu Majah no. 1280 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.
1149}Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yg kedua dgn takbiratul intiqal {takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri}?Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:Pertama: Pendapat Al-Imam Malik Al-Imam Ahmad Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. {lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/178 Aunul Ma’bud 4/6 Istidzkar 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah}Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. {Al- Umm 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya}Nampaknya yg lbh kuat adl pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu krn ada riwayat yang mendukungnya yaitu  

:عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ“ 

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir 7 pada rakaat yg pertama dan 5 pada rakaat yg terakhir selain 2 takbir shalat.”Adapun lafadz Ad-Daruquthni:سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ“Selain takbiratul ihram.” {HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah Ad-Daruquthni 2/47-48 no. 20}Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yg diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. {lihat At-Talkhis 2/84 tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani At-Ta’liqul Mughni 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain hal. 158}Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut semua surat yg ada boleh dan sah utk dibaca.
Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yg pertama “Sabbihisma” dan pada rakaat yg kedua “Hal ataaka” . Pernah pula pada rakaat yg pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah . Lihat juga Al- Irwa‘ .Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg shahih dalam hal ini.Kapan Membaca Doa Istiftah?Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. Khutbah IdDahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah 

.عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ“ 

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah Abu Bakr ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” {Shahih HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id}Dalam berkhutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar mengingatkan mereka utk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus utk banyak melakukan shadaqah krn ternyata kebanyakan penduduk neraka adl kaum wanita.Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

:عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِ   لْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ  

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id maka ketika beliau selesai shalat beliau berkata: “Kami berkhutbah barangsiapa yg ingin duduk utk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yg ingin pergi maka silahkan.” {Shahih HR.
Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1155}Namun alangkah baiknya utk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat utk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dgn agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yg tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan.
Wallahu a’lam.Wanita yg HaidWanita yg sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id walaupun tidak boleh melakukan shalat bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan utk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yg lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.Sutrah Bagi ImamSutrah adl benda bisa berupa tembok tiang tongkat atau yg lain yg diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya panjangnya kurang lbh 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk melewati orang yg shalat. Dengan sutrah ini seseorang boleh melewati orang yg shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yg shalat dgn sutrah. Sutrah ini disyariatkan utk imam dan orang yg shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yg mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya marilah kita menghidupkan sunnah ini termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَر
 أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ“

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id beliau memerintahkan utk membawa tombak kecil lalu ditancapkan di depannya lalu beliau shalat ke hadapannya sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” {Shahih HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al- Fath 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/136}Bila Masbuq Shalat Id Apa yg Dilakukan?Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat demikian pula wanita dan orang-orang yg di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adl Id kita pemeluk Islam’.”Adalah ‘Atha` bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.Bagaimana dgn takbirnya? Menurut Al-Hasan An-Nakha’i Malik Al-Laits Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat shalat dgn takbir seperti takbir imam. {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/169}Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir ia berkata:” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Id beliau mengambil jalan yang berbeda. {Shahih HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a… Fathul Bari karya Ibnu Hajar 2/472986 karya Ibnu Rajab 6/163 no. 986}Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yg lainnya. Dan itu adl pendapat Al-Imam Malik Ats-Tsauri Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu maka tidak dimakruhkan.”Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya di antaranya agar lbh banyak bertemu sesama muslimin utk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. {Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad 1/433}Bila Id Bertepatan dgn Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yg beliau lakukan?” Ia menjawab “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yg ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَDari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id maka barangsiapa yg berkehendak telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” {Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073}Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yg ke-3 dan itulah yg benar bahwa yg ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at supaya orang yg ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yg tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yg diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” {Majmu’ Fatawa 23/211}Lalu beliau mengatakan juga bahwa yg tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.Ada sebagian ulama yg berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yg lemah dan dibantah oleh para ulama. Ucapan Selamat Saat Hari RayaIbnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dgn sanad yg hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yg lain:تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ“Semoga Allah menerima dari kami dan dari kamu.” {Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61 Majmu’ Fatawa 24/253 Fathul Bari karya Ibnu Rajab 6/167-168}Wallahu a’lam.1 ‘Id artinya kembali.2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=373
sumber : file chm Darus Salaf 2

Senin

MENGENAL MAKNA “MINAL AIDIN WAL FAIDZIN” DAN UCAPAN PADA HARI ‘IED


Frasa yang akan banyak diucapkan orang di hari berbuka (baca: ‘iedul fitri) adalah “MINAL AIDIN WAL FAIZIN”. Seringkali frasa berbahasa Arab ini diikuti dengan frasa berbahasa Indonesia: maaf lahir dan batin. Orang mengucapkan dua frasa ini biasanya sambil menyorongkan tangan untuk bersalaman.  SMS pun akan banyak mengutip frasa ini. Bahkan iklan di media cetak dan televisi juga menampilkan rangkaian kata ini. Seringkali pula tulisan berhuruf latin ini dibikin sedemikian rupa sehingga menyerupai kaligrafi huruf Arab.
Tapi, tahukah Anda bahwa frasa “Minal Aidin Wal Faizin” itu tidak dikenal dalam budaya Arab (terlebih lagi dalam islam)?
Dalam buku berjudul “Bahasa!” terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen.” Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal Faizin? Terjemahan frasa ini adalah: dari orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah:”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).” ternyata, adalah kesalahan besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan batin”.
[dinukil dari: http://jalansutera.com]
Ucapan pada hari ‘ied
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] :
“Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
Taqabbalallahu minnaa wa minkum
“Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”
Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.
Akan tetapi Imam Ahmad berkata :
“Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
“Artinya : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”
Imam Ahmad menyatakan : “Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)” [2]
Adapun ucapan selamat : (Kullu ‘aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia [seperti "minal aidin wal faidzin" yang tersebar luas di Indonesia], maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah,
أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَىٰ بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ ؟
“Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” [Al-Baqåråh: 61]
[Disalin dari buku Ahkaamu Al Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein, http://www.almanhaj.or.id/content/1177/slash/0]
Foote Note:
[1]. Al Jalal As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya ” Wushul Al Amani bi Ushul At Tahani” beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di dalamnya ada penyebutan ucapan selamat


 

S

" resent post "