" Ilmu laksana binatang buruan dan tali pengekangnya adalah pena dan tinta, maka ku ikat binatang buruan ku di sini ,semoga Allah menjadikannya ilmu yang bermanfaat fidunya wal'akhiroh .aamiin ...(web .pribadi)

Tampilkan postingan dengan label MAHABATULLOH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAHABATULLOH. Tampilkan semua postingan
Rabu
Renungan Hati: Sandaran Hati (مَسْنَدالقلب
Label:
MAHABATULLOH,
MOTIFASI,
MUHASABAH DIRI,
OASE JIWA
Sabtu
~** kenalakah kita pada Sang Maha PENCIPTA **~
بسم الله الرحمن الرحيم
Kenalkah anda pada Pencipta anda?

Alloh Ta’ala berfiman :
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Alloh, Pencipta yang paling baik”. [Al Mu'minun:12-14]
Siapakah yang telah menciptakan keindahan alam ini?

Lautan dengan pantai nan elok….

Gunung yang kokoh menjulang ke langit nan mempesona dari jauh…

Bening tetes-tetes embun hinggap pada daun-daun dan buah-buah nan lembut menawan ….

Sinar matahari pagi yang hangat memacu semangat.
Subhanallooh …….
La ilaha illalloh …….
Allohu Akbar …..
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءًوَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Alloh, Padahal kamu mengetahui”. [Al Baqoroh:21-22]
Apakah Alloh menciptakan semua itu sia-sia?
Dihamburkan begitu saja tanpa ada tujuan?
Perhatikanlah nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baz رحمه الله berikut

Berilmu dengan hukum-hukum Alloh adalah wajib dijadikan yang utama diatas pengetahuan-pengetahuan yang lainnya, tidak ada larangan untuk membekali dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang lainnya, akan tetapi harus mendahulukan yang paling pokok, dan fokus yang pokok untuk ilmu-ilmu seluruhnya adalah ma’rifatulloh (mengenal Alloh) سبحانه dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, memberikan keberhakan ibadah hanya pada-Nya bukan kepada selain-Nya, kemudian mengenal agama-Nya baik aqidah, suluk, ibadah, dan hukum-hukum yang setiap muslim tidak boleh bodoh tentangnya, sebagaimana wajib bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh pada agama mereka dengan jujur dan ikhlas, mereka menerima apa yang diperintahkan kepada mereka, mengerjakan dan mempraktekkannya dalam seluruh sisi kehidupan mereka tanpa membeda-bedakan, dan hendaklah mereka mengetahui bahwa jika mereka mengerjakanya itu semua maka mereka akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.tanpa membeda-bedakan, dan hendaklah mereka mengetahui bahwa jika mereka mengerjakanya itu semua maka mereka akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Jazahulloh Syaikh wa rohimahulloh rohmatan wasi’ah.
Label:
ARTIKEL,
MAHABATULLOH,
MOTIFASI,
MUHASABAH DIRI,
OASE JIWA
Kamis
AYAT AYAT CINTA
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[QS. Ali ‘Imraan: 31]
Jika hendak diartikan secara harfiah, Ayat-Ayat Cinta berarti Tanda-Tanda Cinta. “Tanda-tanda cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, makna inilah yang hendak kami angkat sebagai titik sentral kajian Tafsir kita kali ini. Menilik fenomena belakangan ini, dimana kaum muslimin seolah kehilangan figur sejati untuk dicintai. Mereka berbondong-bondong mengidolakan tokoh fiktif novel ketimbang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, teladan sejati –yang riil (nyata)- bagi kaum muslimin dalam hal cinta dan ketulusan
Tafsir Ayat
Dikisahkan oleh Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’aalimut Tanziil (1/341. Cet. Daar Thoyyibah 1423 H), bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berkata kepada kafir Quraisy yang tengah bersujud menyembah berhala (simbol tokoh-tokoh wafat yang dikeramatkan); “Wahai segenap kaum Quraisy! Sungguh kalian telah menyalahi agama Bapak kalian, Ibrahim dan Isma’il”. Kafir Quraisy lantas menjawab: “Kami menyembah berhala itu semata-mata cinta kepada Allah, agar mereka (tokoh-tokoh wafat yang dikeramatkan itu) mendekatkan kami kepada Allah”. Maka Allah menjawab dengan ayat di atas.
Ulama tafsir yang lain mengaitkan ayat ini sebagai jawaban atas klaim Yahudi dan Nashrani yang mengatakan bahwa merekalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya, sebagaimana yang termaktub dalam (QS. Al-Maa-idah ayat 18): “(Artinya) Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya’….” [lih. Ma’aalimut Tanziil: 1/341]
Terlepas dari latarbelakang turunnya ayat, para ulama tafsir sepakat menjadikan ayat tersebut sebagai “ayat cinta” yang menguji kejujuran dakwaan cinta seorang pecinta kepada yang dicintai (Allah). Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Hasan al-Bashri rahimahullaah: “Suatu kaum mengaku cinta kepada Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini”. [Tafsir Ibnu Katsir: 2/299, Cet. Daar Ibn Hazm 1419 H]
Betapa indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullaah ketika menafsirkan ayat cinta ini [Raudhatul Muhibbiin: 251. Lih. Badaa-i’ut Tafsiir: 1/498]: “Maka Allah menjadikan ittiba’ (mengikuti) Rasul sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah. Keadaan seorang hamba yang dicintai Allah lebih tinggi dari keadaannya yang mencintai Allah. Permasalahannya bukan pada (pengakuan) cintamu kepada Allah, akan tetapi (apakah) Allah mencintaimu. Maka ketaatan kepada yang dicintai (Allah dan Rasul) adalah bukti cinta kepada-Nya, sebagaimana diungkapkan (dalam syair)
Artinya:
“Engkau bermaksiat kepada ilahi, sedangkan engkau mendakwa cinta kepada-Nya”
“Ini dalam analogi adalah kemustahilan yang diada-adakan”
“Jika saja dakwaan cintamu jujur, niscaya engkau akan mentaati-Nya”
“Sesungguhnya seorang pecinta terhadap yang dicintai, akan taat”
Semua orang, entah ia jujur dalam ketaatannya atau seorang munafik yang bermuka dua, bisa berucap: “Saya mencintaimu Yaa Allah”, namun apakah Allah membalas cintanya? Inilah yang menjadi inti permasalahan. Maka bukti kejujuran seorang hamba dalam mencintai Allah adalah ittiba’-nya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja yang dimaksud ittiba’ di sini adalah dalam segala hal, baik yang dicontohkan untuk kita kerjakan ataupun yang beliau tinggalkan (tidak kerjakan) untuk kita tinggalkan pula (Silahkan baca Al-Hujjah edisi sebelumnya Vol. 06, yang berjudul: “Merajut Ulang Makna Uswatun Hasanah, Antara Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Tarkiyyah”).
Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menafsirkan: “Ayat ini merupakan pemutus hukum bagi setiap mereka yang mengaku cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di atas jalan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam. (Jika demikian) maka sungguh ia seorang pendusta dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari’at dan agama Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pada seluruh ucapan dan perbuatan beliau. Sebagaimana riwayat hadits yang shahih (riwayat Muslim) dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, bahwasanya beliau bersabda: “(Artinya) barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya itu tertolak”. [Tafsir Ibnu Katsir: 2/299, Cet. Daar Ibn Hazm 1419 H]
Cinta, Antara Dakwaan dan Kenyataan
Nah, dengan timbangan cinta sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tentunya kita bisa menilai diri kita masing-masing, apakah kita telah benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cinta yang jujur? Ataukah kata cinta yang kita ucapkan pada Allah dan Rasul-Nya hanya sebatas pemanis di bibir dan penghias bait-bait qasidah (baca: nasyid) yang justru melalaikan kita dari al-Qur-an? Atau mungkin definisi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sudah cukup terwakilkan oleh tetesan air mata dan bergolaknya perasaan setelah mengikuti alur cerita novel dan film “Islami”? Sungguh, jika demikian, kita telah terbuai oleh halusnya tipuan setan.
Inilah kenyataan yang merebak saat ini. Sebagian kaum muslimin begitu mengidolakan tokoh-tokoh fiktif dalam novel dan film, hanya karena tokoh-tokoh khayal tersebut diskenariokan berhias dengan sebagian kecil dari keindahan ajaran Islam. Sementara tokoh nyata yang mulia nan agung, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, yang merepresentasikan keindahan ajaran Islam secara kaffah (sempurna), seolah terkikis dan terlupakan oleh pamor artis dan biduan. Inikah ayat-ayat (baca: tanda-tanda) cinta kepada Allah? Semestinya, jika pengakuaan cinta itu jujur, niscaya mereka berbondong-bondong menuju majelis ilmu, bukan justru mengantri di loket bioskop dan outlet novel “Islami”. Karena hanya di majelis ilmulah, dibacakan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasul-Nya. Menghadiri majelis ilmu, inilah tanda cinta yang hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sahl bin ‘Abdillah rahimahullaah pernah berucap: “Tanda cinta kepada Allah adalah cinta pada al-Qur-an. Tanda cinta pada al-Qur-an adalah cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Dan tanda cinta pada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah cinta pada sunnahnya…” [lih. Tafsir al-Qurthubi: 4/63, Cet. Daarul Kitaab al-’Arabi]
Bisakah seseorang dikatakan mencintai Allah, jika ia mengerjakan sesuatu yang tidak pernah disyari’atkan dan diperintahkan oleh Nabi-Nya dalam urusan agama ini? Contoh nyata: Sebagian kita masih saja beralasan bahwa merayakan maulid Nabi –yang notebene tidak pernah disyari’atkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam – adalah tanda cinta kepada Rasulullah r dan wujud syukur kita kepada Allah. Padahal kenyataannya, para Sahabat sebagai figur yang paling mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dan paling bersyukur kepada Allah, tidak pernah mengadakan ritual maulidan. Seandainya merayakan maulid Nabi adalah simbol cinta yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tentu para Sahabat adalah yang paling dulu dan paling antusias mengamalkannya daripada kita. Sebagaimana ungkapan yang telah menjadi kaidah baku di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaa’ah:
لَوْكَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إلَيْه
“Kalau seandainya itu baik, niscaya mereka (para Sahabat) telah lebih dulu mengerjakannya.” Karena para Sahabat adalah orang-orang yang paling bersemangat dan rakus dalam mengerjakan amal ibadah.
Kiat Meraih Cinta-Nya
====================
Jalan tercepat menggapai cinta al-Khaaliq adalah dengan memurnikan tauhid kepada-Nya, menjauhkan diri dari kesyirikan dan ragam bentuk kekufuran. Kemudian mengerjakan hal-hal yang diwajibkan oleh syari’at Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam, menjauhkan diri dari semua larangan dan segala bentuk ibadah yang tidak dicontohkan oleh beliau dalam agama ini. Baru setelah itu berhias dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan naafilah (sunnah). Inilah yang diisyaratkan oleh Hadits Wali:
“(Artinya) Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: “Barangsiapa memusuhi Wali-Ku, maka aku mengumumkan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya”. [Shahih Bukhari no. 6137]
Senantiasa membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah, juga merupakan sebab terbesar dalam meraih cinta Allah. Karena di antara ciri khas seseorang yang tengah dilanda cinta adalah senantiasa menyebut dan mengingat orang yang dicintainya. Demikian pula Allah, Dia selalu mengingat hamba-hamba-Nya yang berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ
“(Artinya) Karena itu, berdzikirlah (ingat) kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku”. [Al-Baqarah: 152]
Bergaul dan berinteraksi dengan akhlak yang mulia bersama hamba-hamba Allah lainnya juga bisa mendatangkan cinta dan kasih sayang Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:
“(Artinya) Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. [Silsilah Shahihah no. 925]
Satu lagi yang tidak kalah penting dalam berusaha meraih cinta Allah, yaitu do’a. Hafalkan dan amalkanlah do’a -dari sunnah yang shahih- berikut ini di waktu-waktu yang mustajab.
Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu; perbuatan yang memiliki banyak kebaikan, dan meninggalkan berbagai macam kemunkaran, mencintai orang-orang miskin dan Engkau mengampuni serta menyayangiku. Dan jika Engkau menimpakan fitnah (malapetaka) bagi suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terimbas fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa kecintaan pada-Mu, dan cinta pada orang-orang yang mencintai-Mu, juga cinta pada amal perbuatan yang akan menghantarkan aku untuk mencintai-Mu.” [Hadits Hasan, riwayat Ahmad: V/243, at-Tirmidzi: 3235]
Buletin Al-Hujjah Vol: 08-IX/Rabi’ul Awwal-1429H/April-08
cinta kepada Alloh (MAHABATULLOH)
Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw.) bertaya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: “Apakah engkau mencintai Allah?” Ali ra menjawab, “Ya”. Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” Ali ra kembali menjawab, “Ya”. Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai Ibuku?” Lagi-lagi Ali menjawab,”Ya”. Husain kecil kembali bertanya: “Apakah engkau mencintaiku?” Ali menjawab, “Ya”. Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah”. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.
Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt”. Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin.”
Selanjutnya Rabiah -yang sangat terpandang sebagai wali Allah karena kesalehannya- mengembangkan konsep cinta yang menurut hematnya harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selain itu ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Rumusan cinta Rabiah dapat di simak dalam doa mistiknya: “Oh Tuhan, jika aku menyembahmu karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu karena berharap surga, maka campakanlah aku dari sana; Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi.”
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.
Bayazid Bustami sering mengatakan: “Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu sedikit.” Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana’ ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: “Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”. Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.
Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung.. “Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka “‘(QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari “alastu” sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru’yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan “bodoh” dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
“Shalat adalah mi’rajnya orang beriman” begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa. Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: “Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah Swt, itulah ibadahnya orang mukmin”. Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.
Mencintai Allah Swt. bisa di pelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal saleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.
Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu Bein bertanya: “Apa yang sedang anda kerjakan?” Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan. Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia”. Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun protes: “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia”. Malaikat itu berkata: “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia”.
Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannas ini pernah di tekankan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadits qudsi: “Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap tidur”. Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih konkrit, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah di contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya. Mencintai Allah berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara saudara kita yang di timpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah). Jawab beliau: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah, bukan atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri.” Menurut Nurcholish Madjid, yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
sumber :
http://www.uii.ac.id
http://boophuman.wordpress.com/2007/09/06/cinta-kepada-allah-mahabbatullah/
Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt”. Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin.”
Selanjutnya Rabiah -yang sangat terpandang sebagai wali Allah karena kesalehannya- mengembangkan konsep cinta yang menurut hematnya harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selain itu ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Rumusan cinta Rabiah dapat di simak dalam doa mistiknya: “Oh Tuhan, jika aku menyembahmu karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu karena berharap surga, maka campakanlah aku dari sana; Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi.”
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.
Bayazid Bustami sering mengatakan: “Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu sedikit.” Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana’ ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: “Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”. Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.
Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung.. “Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka “‘(QS. 2: 46). Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari “alastu” sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Menurutnya, ar-ru’yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada artinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan “bodoh” dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
“Shalat adalah mi’rajnya orang beriman” begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualitas shalat bagi para pecinta. Shalat merupakan puncak pengalaman ruhani di mana ruh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan shalat sebagai media untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat shalat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa. Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: “Ada hamba yang beribadah kepada Allah karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah Swt, itulah ibadahnya orang mukmin”. Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam shalatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam shalatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam sholatnya.
Mencintai Allah Swt. bisa di pelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal saleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.
Ada sebuah cerita, seorang sufi besar bernama Abu Bein Azim terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang Malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu Bein bertanya: “Apa yang sedang anda kerjakan?” Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan. Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan cemas ia melongok daftar itu, tapi kemudian ia gigit jari, namanya tidak tercantum di situ. Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia”. Esok harinya ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi. Abu Bein terkejut karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun protes: “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia”. Malaikat itu berkata: “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia”.
Mencintai Allah bukan sebatas ibadah vertikal saja (mahdhah), tapi lebih dari itu ia meliputi segala hal termasuk muamalah. Keseimbangan antara hablun minallah dan hablun minannas ini pernah di tekankan oleh Nabi Saw. dalam sebuah hadits qudsi: “Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan shalat ketika orang-orang terlelap tidur”. Jadi cinta kepada Allah pun bisa diterjemahkan ke dalam cinta kemanusiaan yang lebih konkrit, misalnya bersikap dermawan dan memberi makan fakir miskin. Sikap dermawan inilah yang dalam sejarah telah di contohkan oleh Abu bakar, Abdurahman bin Auf, dan sebagainya. Bahkan karena cintanya yang besar kepada Allah mereka memberikan sebagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit saja untuk dirinya. Mencintai Allah berarti menyayangi anak-anak yatim, membantu saudara saudara kita yang di timpa bencana, serta memberi sumbangan kepada kaum dhuafa dan orang lemah yang lain. Dalam hal ini Rasulullah Saw. pernah bersabda ketika ditanya sahabatnya tentang kekasih Allah (waliyullah). Jawab beliau: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan ruh Allah, bukan atas dasar pertalian kerluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri.” Menurut Nurcholish Madjid, yang di tekankan dalam sabda Nabi tersebut adalah perasaan cinta kasih antar sesama atas dasar ketulusan, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
sumber :
http://www.uii.ac.id
http://boophuman.wordpress.com/2007/09/06/cinta-kepada-allah-mahabbatullah/
Langganan:
Postingan (Atom)
" resent post "
