Selasa

HASAD


Inilah salah satu pangkal terjadinya kekafiran di muka bumi.
Seperti diungkapkan:

وَإِذا أَرادَ اللهُ نَشْرَ فَضيلَةٍ طُوِيَتْ
أَتـاحَ لَها لِسـانَ حَسـودِ
لَوْلَا اشْتِعَالُ النَّارِ فِيمَا جاوَرَتْ
مَا كَانَ يُعرَفُ طِيبُ عُرْفِ الْعَوْدِ

Dan jika Allah ingin tersebarnya keutamaan yang tergulung
Dia bentangkan untuknya lisan orang yang dengki
Kalau bukan karena nyala api pada apa yang di dekatnya
Niscaya tak akan dikenal harumnya kayu gaharu
Orang yang dengki itu, tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah  serta pembagian-Nya.
Al-Hasan Al-Bashri t menasihatkan: ”Wahai Bani Adam (manusia), mengapa engkau mendengki saudaramu? Kalau sesuatu yang diberikan kepadanya itu adalah kemuliaan baginya, maka mengapa engkau dengki kepada orang yang dimuliakan oleh Allah ? Dan kalau bukan, maka untuk apa engkau dengki kepada orang yang tempat kembalinya adalah neraka?”3
Orang yang dengki adalah musuh bagi kenikmatan yang Allah  berikan.
‘Aun bin ‘Abdillah memberi nasihat kepada Al-Fadhl bin Al-Muhallab yang saat itu menjadi gubernur Wasith: ”Hati-hatilah, jauhilah olehmu sifat dengki. Karena yang mendorong anak Adam membunuh saudaranya adalah ketika dia dijangkiti rasa dengki kepada saudaranya.”
Iri dan dengki adalah kezaliman. Karena dia mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah  berikan kepada seseorang.

Dengki4 ini asalnya diharamkan, kecuali pada dua tempat, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad sholallohu'alaihi wa sallam :

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ؛ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh dengki kecuali pada dua hal; seseorang yang Allah beri harta lalu dipakai untuk dihabiskan di jalan al-haq; dan seseorang yang diberi Allah hikmah lalu dia memutuskan dengan hikmah itu dan mengajarkannya.”5

Dengki adalah penyakit berbahaya yang pernah menjangkiti bangsa manusia sebelum kita. Rasulullah sholallohu'alaihi wa sallam bersabda:

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمُ الْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ، لاَ أَقُولُ تَحْلِقُ الشَّعَرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّينَ

“Telah datang dan menyebar kepada kamu penyakit umat manusia sebelum kamu; (yaitu) dengki dan kebencian; yang ini merupakan pencukur. Saya tidak katakan dia mencukur rambut, tetapi mencukur agama.”6

Ibnul Qayyim  mengatakan bahwa rukun kekafiran ada empat, yaitu:

- Kibr (sombong, merasa besar)
- Hasad (iri, dengki)
- Marah
- Syahwat7

Kibr ini, didefinisikan sendiri oleh Rasulullah sholallohu 'alaihi wa sallam :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kibr (sombong) artinya ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Bersemayamnya sifat ini di dalam diri seorang manusia akan menjadi penghalang baginya untuk tunduk.
Adapun hasad yang artinya adalah keinginan agar lenyapnya kenikmatan yang diperoleh orang lain, walaupun dia sendiri tidak memperolehnya. Sifat ini akan menghalangi pemiliknya untuk menerima dan memberi nasihat.
Rasa marah akan menghalangi pemiliknya dari sifat adil dan tawadhu’. Sedangkan syahwat akan menghalangi pemiliknya dari ibadah.

Maka, apabila kesombongan itu runtuh, mudahlah bagi seseorang untuk tunduk. Jika sifat hasad ini lenyap niscaya mudahlah baginya menerima dan memberi nasihat. Kemudian, apabila rasa marah ini runtuh, mudahlah dia bersikap adil dan rendah hati (tawadhu’). Jika rukun syahwat ini juga runtuh maka mudahlah baginya untuk bersabar, memiliki sifat ‘iffah (menjaga kehormatan dirinya), lebur dalam ibadah.
Hancur leburnya gunung-gunung dari tempatnya, lebih mudah dibandingkan lenyapnya keempat pilar ini dari mereka yang diuji dengannya. Terlebih lagi jika keempatnya telah menjadi watak atau kepribadian yang melekat dan kokoh. Karena tidak akan mungkin lurus suatu amal dikerjakan jika keempat hal ini bersemayam dalam hati seseorang. Jiwa tidak akan menjadi suci dengan kekalnya keempat pilar ini.
Semakin dia bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam beramal, maka keempat rukun ini justru merusak amalan tersebut. Bahkan seluruh kerusakan dan kekurangan itu terlahir dari keempat perkara ini. Maka apabila keempatnya semakin kokoh tertanam di dalam hati niscaya dia akan memperlihatkan kebatilan sebagai suatu kebenaran, yang benar sebagai suatu kebatilan, yang ma’ruf dalam bentuk kemungkaran, dan kemungkaran sebagai suatu yang ma’ruf. Dunia memang semakin dekat kepadanya, tetapi akhirat semakin jauh darinya.
Keempat rukun ini muncul dari kebodohan pemiliknya tentang Allah  (Rabbnya), dan tentang keadaan dirinya. Sebab, kalau dia mengenal Rabbnya, melalui sifat-sifat dan keadaan-keadaan-Nya Yang Maha Sempurna dan Maha Mulia, mengenal pula keadaan dirinya yang penuh kekurangan, niscaya dia tidak akan merasa besar (sombong, takabbur), marah dan tidak dengki kepada siapapun terhadap apa yang telah Allah  berikan kepadanya. Karena kedengkian itu hakikatnya merupakan salah satu bentuk permusuhan kepada Allah l, karena pelakunya tidak senang dengan nikmat Allah l tercurah kepada hamba-Nya padahal Allah mencintainya. Lalu dia ingin nikmat itu lenyap dari orang tersebut, padahal Allah  tidak menyukai hal itu. Ini berarti dia menentang Allah  dalam qadha dan qadar-Nya, cinta dan benci-Nya.

Karena itulah, hakikatnya iblis menjadi musuh Allah . Sebab, dosa yang dilakukannya berangkat dari sifat kibr dan hasad.
Maka untuk menumpas kedua sifat ini, adalah dengan mengenal Allah  dan mentauhidkan-Nya, ridha kepada-Nya, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Sedangkan rasa marah, dicabut dengan mengenal keadaan jiwa kita sendiri, bahwasanya dia tidak pantas serta tidak berhak marah dan membalas karena pribadi. Karena hal itu berarti dia mementingkan dirinya daripada Penciptanya. Sedangkan cara paling ampuh memperbaiki hal ini adalah dengan mengembalikannya untuk merasa marah dan ridha karena Allah semata.
Adapun syahwat, obatnya adalah lurusnya ilmu dan ma’rifat. Setiap kali dia membuka pintu syahwat ini, semakin terhalanglah dia dari ilmu dan ma’rifat tersebut.

Terakhir, rasa marah. Seperti binatang buas, jika pemiliknya melepasnya, niscaya dia akan menerkam pemiliknya. Syahwat itu seperti api yang dinyalakan pemiliknya lalu membakar segalanya. Sedangkan kesombongan (kibr) seperti pemberontak yang menggulingkan seorang raja dari kekuasaannya. Kalau dia tidak membinasakanmu, maka dia tentu mengusirmu dari dekatnya. Dan hasad, seperti permusuhan yang kita lancarkan kepada orang yang lebih kuat dan berkuasa daripada kita.
Orang yang mampu mengalahkan syahwat dan rasa marahnya, niscaya setan pun takut mendekati bayangan orang tersebut. Sebaliknya, orang yang dikalahkan oleh syahwat dan rasa marahnya, maka dia justru takut kepada bayangan khayalnya sendiri.
Demikian uraian Ibnul Qayyim


 Hasad (dengki) itu sudah ada dalam di dalam diri manusia.
Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan: ”Tidak ada satu jasad pun melainkan ada hasad di dalamnya.” Akan tetapi orang yang beriman tentu berusaha menjauhinya, karena yakin akan kejelekannya.
Alangkah tepat ungkapan ini:

أَلاَ قُلْ لِمَنْ بَاتَ لِي حَاسِدًا
أَتَدْرِي عَلَى مَن أَسَأْتَ الْأَدَبَ
أَسَأْتَ عَلَى اللهِ سُبْحَانَهُ
لِأَنَّكَ لَمْ تَرْضَ لِي مَا وَهَبَ

Ingatlah, katakan kepada yang bermalam dalam keadaan hasad kepadaku
Tahukah engkau kepada siapa sesungguhnya engkau berbuat kejelekan?
Engkau berbuat jelek kepada Allah Subhanahu
Karena sesungguhnya engkau tidak ridha terhadap apa yang diberikan-Nya kepadaku
Memang, karena hal itu menunjukkan dia menentang qadha dan qadar Allah , menyia-nyiakan dirinya serta benci kepada karunia Allah l yang diberikannya kepada seseorang.
Allah  berfirman:

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (An-Nisa’: 54)

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah/akhlak/550-kisah-dua-putra-adam-akhlak-edisi-54.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

" resent post "